Monday, August 1, 2016

Siapkah kamu menghadapinya?

Artikel ditulis oleh Yanto Tanuwijaya


"Aku akan sukses sebelum mati."

-Mike Mohede


Kita baru-baru ini dikejutkan oleh kabar duka cita, Mike Mohede dan Muhammad Ali telah meninggal. Kabar meninggal Mike Mohede secara mendadak di usia sangat muda tanpa adanya riwayat penyakit jantung membuat Indonesia berduka cita. Indonesia kehilangan satu penyanyi bersuara emas.

Lebih jauh lagi, kabar meninggal Ali bukan saja membuat Indonesia berduka cita, bahkan membuat seluruh dunia berduka. Ali merupakan sosok yang sangat  fenomenal. Dia adalah juara dunia tinju kelas berat tiga kali dan bahkan orang-­orang  memberikan julukan “The Greatest” untuknya.

Bahkan seseorang yang sangat fenomenal pun harus mati. Begitu pula dengan banyak  orang­-orang fenomenal lainnya seperti Steve Jobs, Gandhi, Martin Luther King, dan banyak lainnya pun ternyata tidak bisa kabur dari yang namanya kematian.

Selain mereka, ada juga sosok­-sosok penguasa. Para raja-­raja di Cina, India, Mesir dan  juga raja­-raja di tanah air kita juga sama, kita sekarang hanya bisa membaca tentang  kisah-­kisah mereka di buku­buku sejarah, mereka sudah tidak ada lagi. Selain itu juga ada Sang Buddha sendiri yang memiliki 32 tanda utama dan 80 tanda tambahan dari tubuh Buddha juga menunjukkan adanya ketidakkekalan dalam bentuk kematian.

Lalu setelah melihat orang-­orang hebat tersebut, bagaimana dengan diri kita sendiri?

Apakah kita terkenal seperti Mike Mohede? Apakah kita sekuat Muhammad Ali? Sanggup untuk menjadi juara tinju kelas berat sampai  tiga kali? Atau memiliki kekayaan seperti Steve Jobs? Atau memiliki kekuasaan untuk  memerintah pasukan yang sangat banyak seperti para raja­raja jaman dahulu? Atau  memiliki kebajikan melebihi kebajikan pada tubuh buddha?

Jika mereka saja tidak dapat kabur dari dewa kematian, bagaimana dengan diri kita? Kita  tidak memiliki keistimewaan seperti mereka. Lalu kenapa kita masih saja menipu diri kita  sendiri? Kita selalu berpikir kalau kita pasti akan hidup terus. Jarang sekali kita berpikir bahwa kita akan mati bahkan hampir tidak pernah. Kita sebenarnya tahu kalau kita pasti  akan mati, tapi kita mencoba untuk mengalihkan perhatian kita dari pikiran buruk tersebut.
Satu lagi yang kita tidak mau pikirkan adalah tidak jelasnya kapan kita mati. Kita sudah sering melihat orang-­orang yang kita lihat sedang sehat tapi ternyata meninggal. Orang yang masih muda, juga tidak luput dari kematian. Tapi dengan begitu banyaknya kenyataan yang terlihat di depan kita, kita seperti menutup mata. Kita mengabaikan kenyataan tersebut  dan menghindar darinya.

Ini adalah kenyataan yang tidak bisa kita hindari. Kita harus mati dan kita bisa mati kapan  saja. Kematian mungkin terlihat sangat jauh tapi sebenarnya sangat dekat. Sebenarnya, dengan kita menerima kenyataan bahwa kita akan mati, kita akan lebih menghargai waktu  yang kita miliki sekarang. Dengan mengerti bahwa waktu kita sangat terbatas, maka dia akan sangat berharga bagi kita.  

“My favorite things in live, don’t cost any money,  It’s really clear that the most precious resource that we all have is time.”
-Steve Jobs

Dengan kondisi masih hidup, artinya kita memiliki kesempatan yang berharga berupa waktu.  Tapi banyak orang yang tidak mengerti apa yang harus dilakukan dengan waktu yang  berharga ini. Banyak orang yang membiarkan waktu itu berlalu begitu saja. Tidak  menghasilkan banyak manfaat. Tidak memberikan sesuatu yang berguna. Bahkan malah waktu yang berharga itu malah digunakan untuk hal­-hal yang merusak.

Orang­-orang yang seperti ini hanya memiliki tujuan untuk menikmati hidup ini saja. Tetapi  tidak melihat sebuah gambaran yang lebih besar. Dengan adanya resource berupa waktu, kita akan mampu membentuk masa depan kita yang jauh lebih baik. Dengan mengerti dan  menerima kenyataan bahwa kematian itu nyata bagi diri kita sendiri, kita akan jauh lebih  menghargai kehidupan kita.

Seperti sebuah sumber daya yang ketika kita olah dengan benar akan menghasilkan hal­-hal yang bernilai. Misalnya, besi, semen dan pasir ketika kita olah dengan benar akan dapat  menghasilkan sebuah gedung yang megah. Waktu juga sama, ketika kita mengolahnya dengan baik maka kita dapat membuat sesuatu yang megah bagi diri kita.


Asuransi

Asuransi merupakan sesuatu yang sangat menarik. Pada saat sekarang ini, segala sesuatu  bisa diasuransikan. Dari asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kendaraan, asuransi  rumah sampai asuransi kredit. Ketika kita membeli polis asuransi, kita mengetahui secara  sadar bahwa barang­barang ini akan rusak tapi kita mencoba untuk menjaganya.

Sehubungan dengan topik kematian, kita hanya akan membahas mengenai asuransi jiwa.  Ketika seseorang membeli sebuah polis asuransi jiwa, sebenarnya dia sudah mengerti  mengenai kematian. Dia tau bahwa dia akan mati dan juga dia tidak tahu kapan dia akan  mati. Jika seseorang tidak mengerti bahwa dia pasti mati maka buat apa dia membeli  sebuah polis asuransi? Hal ini pasti hanya sebuah hal yang sia­-sia.

Dengan membeli polis asuransi, biasanya yang diharapkan adalah keluarga yang kita  tinggalkan tidak akan merasa kesulitan untuk melanjutkan kehidupannya. Dengan  penggantian dari polis tersebut, kita berharap keluarga kita tidak akan kelaparan atau harus  berhutang sana sini untuk hidup mereka. Walaupun kita mati, keluarga kita tidak akan sengsara.

Pemikiran ini benar tapi masih belum tuntas, masih ada yang hilang dalam jalan pemikiran  mengenai asuransi ini. Step pertama mengenai kematian, bahwa kita pasti mati dan kita  tidak tahu kapan, ini sudah sangat baik sekali. Step selanjutnya mengenai memikirkan  kondisi keluarga kita setelah kita meninggal juga sebuah hal yang sangat baik. Tetapi yang  masih kurang adalah step memikirkan kondisi diri kita sendiri saat kita mati. Ketika kita hanya memikirkan mengenai keluarga kita, itu artinya kita menganggap bahwa  setelah kita mati, kita seperti hilang begitu saja. Tetapi sebagai umat Buddha, kita percaya  mengenai reinkarnasi. Kita tahu ketika kita meninggal, kita akan terlahir kembali ke salah  satu alam kehidupan. Nah masalah inilah yang harus kita pikirkan.

Lalu apa persiapan kita untuk menyongsong kematian dan kelahiran kembali tersebut?  Sebenarnya pemikiran mengenai asuransi ini juga harusnya bisa kita terapkan untuk diri  kita. Kita mau keluarga kita tidak sengsara setelah kita meninggal. Dengan alur pikir yang  sama, mengapa kita tidak memikirkan bahwa kita juga tidak mau sengsara di kelahiran kita  yang berikutnya?


"Aku tidak merokok, tapi aku menyimpan korek api di sakuku.  Ketika aku melakukan suatu kejahatan. Aku akan menyalakannya dan memanaskan  telapak tanganku. Lalu aku akan berkata pada diriku:  Jika kamu tidak bisa tahan panas ini, bagaimana kamu bisa tahan panas tak terbayangkan  di neraka?"
-Moh. Ali­

Muhammad Ali memberikan contoh yang sangat baik sekali. Dia tidak mau sengsara di  kehidupan setelah kematian, maka dia akan menjaga dirinya dari melakukan perbuatan  jahat. Dengan selalu mengingat bahwa kita akan mati, dan masih ada kehidupan berikutnya, kita akan menjaga perbuatan kita untuk menghindar dari kesengsaraan pada kehidupan kita  berikutnya.

Jelas kita tidak mau sengsara di kehidupan kita yang berikutnya. Kalau begitu, kita harus  cari polis asuransi mana yang bisa menjamin bahwa kita tidak akan sengsara pada  kehidupan kita yang berikutnya. Apakah ada? Tentu ada. Buddha dan para Guru besar  menunjukkan ada dua metode untuk mencegah kelahiran berikutnya yang sengsara yaitu  Tisarana dan Karma.

So kapan mulai ikut asuransi untuk menjamin kehidupan kita yang berikutnya?