Artikel ditulis oleh Hendra Wijaya
Saya terkadang sedih melihat nasib umat Buddhis di Indonesia. Banyak dari kita yang berpikir bahwa tidak perlu belajar Dharma dalam-dalam, yang penting tahu mesti berbuat baik, kurangin berbuat buruk, itu aja cukup kok.
Ada juga yang berpikir kalau setiap minggu ke wihara aja cukup lah. Di wihara kan saya berbuat baik, saya berdana, saya mendengarkan Dharma, saya memberi persembahan kepada Biksu Sangha dan Buddha.
Ada juga yang berpikir, kamu jangan belajar dalam dalam, nanti kamu jadi biksu loh. Nanti kalau kamu jadi Biksu, siapa yang meneruskan sisilah keluarga kita, bisnis yang sudah papa rintis bertahun-tahun? Nanti tidak ada yg urusin papa mama ketika kami tua. Atau sebaliknya, nanti siapa yang ngurusin kamu ketika kamu tua nanti?
Ada juga yang bukannya ke wihara tapi ke kelenteng, menggenggam puluhan dupa dengan asap mengepul, memohon-mohon usaha lancar, cepat kaya, banyak rejeki, keluarga sehat, damai dan tentram. Saya tidak membahas mengenai berdoanya, berdoa tentu sah-sah saja. Tetapi yang saya bahas adalah objek dan subjeknya itu loh.
Lalu ada juga yang ke wihara untuk mencari jodoh, masuk panitia untuk tujuan yang sama juga. Atau pun untuk mencari kesibukan. Ketika sudah lanjut usia, yah daripada dirumah bengong, mending ikut bantu-bantu deh, ikut baca doa berduka, baksos dan lain sebagainya.
Lebih parah lagi, ke wihara hanya ketika pemberkatan pernikahan saja.
Seribu satu kegiatan kita ini sebagai umat Buddhis, Anda mungkin akan mengkritik saya dengan mengatakan, loh ke wihara, persembahan, berdana, dengar ceramah itu kan baik, walaupun hanya di hari minggu. Jadi panitia di wihara atau ikut organisasi di wihara kan baik, daripada ikut kegiatan yang buruk buruk, masih lebih baik kan kita aktif di wihara?
Ya, kita mungkin berpikir itu berbuat baik. Tetapi kita lupa apa itu artinya menjadi seorang Buddhis. Buddhis yang sesungguhnya. Apa itu Buddhis yang sesungguhnya?
Begini, Pangeran Sidharta capek-capek duduk di bawah pohon Bodhi untuk mencapai pencerahan demi semua makhluk. Setelah beliau mencapai pencerahan, Beliau mengajar selama 35 tahun agar umat manusia mengikuti jejak beliau mencapai pencerahan yang SAMA dengan beliau.
Dua ribu lima ratus tahun kemudian, tujuan Buddha pun tetap sama tidak berubah. Ingin kita mencapai pencerahan seperti beliau. Namun lihatlah kenyataannya, pelajaran paling sederhana dari sang Buddha pun tidak kita terapkan dalam kehidupan sehari hari kita. Apa itu?
Bahwa semua contoh yang saya sebutkan di atas, sebaik apapun itu, SEMUANYA hanya ditujukan untuk KEHIDUPAN SAAT INI SAJA! Tidak satupun tindakan yang kita anggap bajik diatas ditujukan untuk itu. Ini sama persis seperti yang suka dikatakan oleh motivator-motivator ulung. Untuk menjadi kaya raya, 1). Set dulu goal anda. Apa yang ingin anda raih, harus clear, harus jelas, spesifik. 2). Yakin bahwa anda bisa mencapainya. dan 3). Bayangkan dan hiduplah seakan akan anda telah memperolehnya. Begitu kan kurang lebihnya?
Loh, bukannya sang Buddha juga mengajarkan hal yang sama? Kalau umat Buddhis hanya mikirin kehidupan saat ini, apakah GOAL untuk mencapai pencerahan demi semua makhluk akan bisa dicapai? apakah Nirwana yang disebut-sebut para Biksu/Biksuni dalam ceramahnya mampu kita capai? Apakah bisa kita capai kalau kita bahkan tidak pernah berpikir untuk ingin mencapainya? Sepertinya tidak mungkin.
Jangan-jangan kita sendiri belum percaya dengan adanya kehidupan yang akan datang yah? Wah gawat deh, padahal pelajaran mendasar sang Buddha adalah mengenai karma dan tumimbal lahir. Untuk mencapai kebuddhaan, Buddha Sakyamuni menempuh 3 kalpa besar utk bisa menjadi Buddha. Ini bukti jelas bahwa kehidupan akan datang itu nyata ada didepan mata dan kita pasti akan menjalaninya. Pertanyaannya, apa yang telah kita lakukan untuk mempersiapkan kehidupan kita yang akan datang? NOL BESAR.
Contoh, kalau ketika kita SMA tidak memiliki cita-cita yang sangat kuat ingin jadi pilot, apakah mungkin kita akan berjuang untuk mencapai itu? Jadi, untuk mencapai tujuan yang kita mau, tentunya kita harus set goal kita dulu. Tidak perlu motivator ulung untuk ajarkan itu semua, Sang Buddha sejak 2500 tahun yang lalu sudah ajarkan itu semua. Kita nya aja yang tidak sadar.
Nah, masuk ke poin kedua saya. Ayah saya bilang: “Huei, gak usah ajarin papa tentang karma dalem-dalem, yang penting papa gak buat jahat, dan papa berbuat baik, itu aja udah cukup.” Inilah pola pikir kebanyakan orang. Merasa ga perlu belajar. Merasa paling pintar sedunia. Dari ketiga racun dunia (lobha, dosa, moha) mana yang paling parah penyakitnya? Jawabannya adalah Moha. Karena kita tidak tahu maka kita tidak ingin berubah. Justru pelajaran pertama kita adalah HARUS belajar Dharma untuk menghapus ketidaktahuan.
Loh, saya belajar Dharma kok, saya kan tiap hari minggu ke wihara dan mendengarkan ceramah Biksu/Biksuni Sangha, itu termasuk belajar kan? Betul itu mendengarkan dharma, tapi coba bandingkan dong, Anda jadi S1 aja butuh 4 tahun kan? Kuliah tiap hari supaya jadi sarjana, ekstra 2 tahun lagi jadi S2, entah berapa tahun lagi untuk jadi professor S3. Berapa mata kuliah dan berapa buku tebal yang mesti kita lahap untuk jadi sarjana? Lalu menurut Anda apakah dengan ke wihara setiap minggu CUKUP untuk membebaskan kita dari samsara? Berapa persen dari ceramah itu yang kita ingat? Berapa banyak buku Dharma yang kita baca? Dan berapa persen dari yang kita ingat itu akan kita praktikkan?
Jadi, jangan remehkan belajar Dharma. Dengan belajar Dharma sebenarnya kita mendapatkan dua manfaat. Pertama, kita menghilangkan ketidaktahuan terhadap hal tersebut dan kedua kita mendapatkan kebijaksanaan dari hal tersebut. Suatu hal luar biasa yang diajarkan oleh sang Buddha. Moha (ketidaktahuan) berkurang dan Panna (kebijaksanaan) meningkat. Kalau hitungan orang Cina ini dibilang investasi paling menguntungkan, gak mungkin rugi.
Pelajaran selanjutnya, mengenai sembahyang ke kelenteng, saya tidak melarang orang pergi ke kelenteng. tentunya setiap doa itu baik. Kita ke kelenteng mempersembahkan dupa, minyak, uang, lilin, lalu kita berdoa minta ini itu. Coba perhatikan doa-doa kita. Apakah doa-doa kita semuanya isinya hanya untuk kehidupan ini saja? Adakah yang isinya supaya kehidupan akan datang lebih baik, minta lahir jadi manusia buddhis lagi, lebih baik, lebih cerdas, lebih kaya dari kehidupan ini, minta cepet cepet keluar dari samsara? Saya tidak yakin tuh kalau doanya akan seperti itu kalau dia tidak belajar Dharma dengan baik.
Lalu ya, jelas-jelas isi Tisarana yang pertama itu kan AKU BERLINDUNG KEPADA BUDDHA. Loh kok jadi nya kita minta perlindungan kepada dewa-dewi? Kenapa kita tidak berlindung kepada Buddha? Apakah karena dibilangnya, “Dewa kan masih hidup, Buddha kan sudah mati?”
Sudah lupakah kita akan tekad Pangeran Sidharta untuk membebaskan semua makhluk dari samsara? Apakah setelah parinibanna sang Buddha melupakan janjinya? Meninggalkan kita sendirian di samsara ini? Wah, berarti Buddha jahat dong meninggalkan kita di samsara.
Kenyataannya tidak begitu, Buddha dengan segala kemampuannya dengan tubuh Rupakaya, Samboghakaya, Dharmakaya-Nya hingga detik ini pun masih bekerja untuk membebaskan semua makhluk dari samsara.
Lalu kenapa kita masih mencari perlindungan ke tempat lain? Ini menekankan kembali pentingnya belajar agar kita tahu mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Ada juga yang bilang, tidak perlu belajar banyak-banyak, yang penting kita banyak meditasi. Nah, ini juga salah kaprah. Ini seperti seorang mahasiswa semester 1 disuruh langsung operasi bedah. Apakah Anda mau dioperasi oleh mahasiswa ini? Apa alasan Anda menolak dia? Sederhana kan? Emang dia tau apa tentang operasi, dia kan masih semester 1? Dokter umum aja masih belum lulus. Belajar dulu deh yang bener. Mungkin kira-kira begitu jawabannya.
Nah, sama kan dengan meditasi. Apa yang mau kita meditasikan kalau kita gak punya modal untuk bermeditasi. Coba kita pikir baik-baik, apa tujuannya kita bermeditasi? Untuk mencapai nirwana kan? Untuk keluar dari samsara kan?
Kenapa kita ingin keluar dari samsara? Harusnya kita mengisi otak kita dulu dengan informasi yang cukup mengenai samsara. Kita harus belajar dulu kenapa kita pengen keluar dari samsara?
Salah satu jawabannya adalah karena samsara itu tidak enak (atau enak ya???), karena saya capek, lahir lagi, tua lagi, sakit lagi, mati lagi, berulang ulang tak terhitung banyaknya. Saya ingin menghentikan lingkaran penderitaan ini. Maka kita perlu belajar mengapa kita bisa terlahir lagi dan lagi melalui topik 12 mata rantai.
Mengutip lagi kata-kata motivator, ‘Know your enemy.’ Pelajari dulu musuh kita, siapa musuh kita untuk keluar dari samsara? Musuh kita adalah kilesa. Nah berarti kan kita perlu belajar dulu toh tentang kilesa.
Sehingga, ketika kita meditasi, kita TAHU DENGAN JELAS, siapa yang harus kita basmi.
Balik lagi ke contoh dokter bedah, dokternya harus punya pengetahuan lengkap tentang cara bedah yang benar, punya pengetahuan mengenai penyakit kita, dan yang paling penting TAU CARA OPERASI-nya. Sebenarnya sama aja kan dengan ajaran Sang Buddha. Lalu bagaimana mungkin kita berharap bahwa dengan pengetahuan kita yang seperti mahasiswa kedokteran semester 1 tersebut, sanggup bermeditasi dan bisa keluar dari samsara tanpa melalui tahapan belajar? Impossible!
Jadi, umat Buddhis itu isinya tidak cuma pergi ke wihara seminggu sekali, berdana seminggu sekali, pasang lilin seminggu sekali, dengar ceramah seminggu sekali. Ini ibarat seminggu sekali nabung seribu rupiah lalu berharap hasil investasi bisa jadi milyaran dalam sekejap. Mana mungkin? Anda pasti lebih jago hitung daripada saya.
Saran saya, ambil waktu untuk merenung, sebenernya mau nya kita apa sih jadi manusia di kehidupan ini? MINIMAL kita harus mendedikasikan hidup kita untuk kehidupan akan datang yang lebih baik, atau kalau bisa lebih baik lagi, ingin keluar dari samsara, atau yang paling agung, ingin menjadi Samma-Sambuddha seperti Buddha Sakyamuni. Toh, memang ini tujuan utama nya kita menjadi buddhis, yaitu menjadi seorang Buddha. Ketidak percayaan diri kita sendirilah yang menghalangi itu.
Bagaimana caranya? Hanya TIGA. BELAJAR, BELAJAR, BELAJAR!!!
Hilangkan Moha kita hingga modal kebijaksanaan (pengetahuan) kita cukup.
Beberapa topik penting menurut saya adalah,
- Kemuliaan terlahir sebagai manusia (ini agar kita merasa beruntung terlahir sebagai manusia dan memiliki harapan untuk mencapai kebuddhaan)
- Kematian. Bahwa sehebat apapun kita, kita pasti mati dan lebih gawat lagi, kita tidak tahu kapan kita akan mati.
- Alam Rendah. Setelah kematian, kalau kita selama hidup gak pernah mikirin kehidupan akan datang, maka kita kan jatuh ke alam rendah, entah itu jadi hantu kelaparan, atau binatang, atau neraka panas dan dingin.
- Tisarana. Setelah membangkitkan ketakutan akan kematian dan alam rendah yang menghantui kita, kita mencari perlindungan kepada Buddha Dharma Sangha. Inilah perlindungan sesungguhnya.
- Karma. Setelah memohon perlindungan, kita mempelajari karma dengan baik agar kita tidak jatuh ke alam rendah dan agar dapat mengumpulkan kesempurnaan enam paramita.
Inilah minimal topik topik yang perlu kita pelajari, renungkan, meditasikan untuk menjamin agar kehidupan mendatang kita menjadi lebih baik. Tak lupa, selalu dedikasikan apapun benih kebajikan yang kita miliki untuk kehidupan kita yang akan datang.
Ingat, karma kita adalah milik kita sendiri, bukan milik orang lain. Mulailah kumpulkan sebab sebab untuk kehidupan akan datang yang kita impikan.
Saya dedikasikan kebajikan dari membuat tulisan ini untuk umur panjang semua guru Dharma yang Agung, dan semoga siapapun yang membaca tulisan ini dapat memetik manfaat yang sebesar besarnya.
Semoga semua kehidupan kita yang akan datang akan lebih baik lagi dari yang sekarang, dan semoga kita segera mencapai pencerahan yang lengkap sempurna demi semua makhluk.