Saturday, October 17, 2015

Public Teaching & Inisiasi Awalokiteswara 2015

[SEALF 2015 - Jakarta]

Dagpo Rinpoche (lahir tahun 1932) diidentifikasi oleh HH Dalai Lama XIII sebagai kelahiran kembali seorang guru besar yang memiliki silsilah kelahiran kembali yang dapat ditelusuri hingga ke seorang bodhisattva guru besar dari bumi Nusantara ini di zaman Sriwijaya, yaitu Lama Serlingpa Dharmakirti Suwarnadwipa.

Guru Atisha adalah seorang guru besar ajaran Buddha di abad 10 yang berasal dari India. Bodhipatapradipa (Pelita Sang Jalan) adalah karya besar yang disusun beliau sepulangnya dari masa belajar beliau selama 12 tahun di Sriwijaya di bawah kaki Lama Serlingpa.

Dengan mempelajari karya ini, kita dapat mempelajari ajaran otentik Buddha Sakyamuni yang disajikan secara terstruktur dan sistematis, kita juga dapat memahami bahwa tidak ada kontradiksi dari seluruh ajaran Buddha, dan bahwa semua ajaran Buddha adalah instruksi bagi diri pribadi kita masing-masing dalam perkembangan spiritual kita.

Awalokiteswara adalah perwujudan welas asih semua Buddha yang merupakan dasar bagi pengembangan batin pencerahan (bodhicitta), sebuah ajaran yang sudah berakar di bumi Nusantara ini sejak zaman Lama Serlingpa, sang pemegang silsilah dua instruksi lengkap latihan batin pencerahan.

Jadilah orang yang beruntung menerima berkah dari ajaran langka ini dengan mengikuti Public Teaching dan Inisiasi Awalokiteswara oleh YM Guru Dagpo Rinpoche.

********

PUBLIC TEACHING
Tema: Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan
Tanggal: 12-13 Desember 2015
Tempat: Roemah Djoglo
Jl. Taman Aries Raya No. 9A
Meruya, Jakarta Barat
goo.gl/GeA1HC

INISIASI AWALOKITESWARA SEBELAS MUKA SERIBU TANGAN
Tanggal: 19-20 Desember 2015
Tempat: Prasadha Jinarakkhita, Jl Kembangan Raya Blok JJ, Jakarta Barat
Goo.gl/maps/5epDzspUrCu

TANPA BIAYA, TEMPAT TERBATAS

Pendaftaran:
kadamchoeling.or.id/sealf

********

Bagi yang hendak mengikuti Inisiasi Awalokiteswara, dianjurkan mengikuti
Kelas Pembekalan Inisiasi sbb:

Tanggal: 14, 21 atau 28 November 2015 (pilih salah satu)
Waktu: 10.00-15.00 WIB
Tempat: Prasadha Jinarakkhita

********

Ceramah tersedia dalam Bahasa Indonesia, Inggris, Mandarin, Hokkian, dan Perancis.
Selain Bhs Indonesia, silahkan membawa radio dan headset.

Info lebih lanjut:
Kadamchoeling.or.id/sealf2015
Publicteaching@kadamchoeling.or.id
Fanny Angreani +6282115854052
Stepfina +628567554189

Sarva Manggalam,
Panitia SEALF 2015
FB: Dagpo Rinpoche Lamrim Retreat
IG: Oneheartonedevotion
TW: @LamrimFest_2015
Lineid: @SEALF

Wednesday, October 7, 2015

Kemuliaan Kelahiran sebagai Manusia


Tidak ada perilaku yang lebih menipu dan lebih keliru
Dibanding mendapatkan kesempatan lalu tidak menanam kebajikan
Setelah menyadari hal ini jika aku terus menerus bermalas-malasan karena kekeliruan
Kesedihan besar akan menimpa diriku ketika menjelang kematian.
                                                            Shantideva-Bodhicaryavatara

sumber gambar: sugatagarbha.wordpress.com

Pernahkah kita mengalami stres? Stres karena kita merasa diri kita ini tidak berharga dan lebih parahnya membuat kita merasa rendah diri. Pernahkah kita coba mengamati diri kita sendiri, mencoba mengenali dan menemukan apa keunggulan yang ada dalam diri kita? Beberapa mungkin telah menemukan kelebihan diri masing-masing, misalnya kita merasa diri kita cantik, tampan, pintar, kaya dan lain sebagainya. Apakah hanya itu? Apakah ada yang jauh melampaui hal-hal tersebut?

Berbahagialah mereka yang terlahir sebagai manusia yang memiliki 8 kebebasan dan 10 keberuntungan. Apakah itu? Kebebasan yang dimaksud adalah kita bebas dari 8 kondisi ketidakbebasan yang menghalangi kita untuk mempraktekkan Dharma. Delapan kondisi tersebut antara lain: terlahir di neraka, terlahir sebagai hantu kelaparan, terlahir sebagai seekor binatang, terlahir sebagai dewa berumur panjang, terlahir di daerah terpencil, terlahir di masa sebelum munculnya Buddha, terlahir sebagai manusia dengan keterbelakangan mental, mempunyai pandangan salah.

Keberuntungan adalah kehadiran semua kondisi internal dan eksternal yang menguntungkan untuk praktek spiritual. Sepuluh keberuntungan tersebut antara lain: menjadi seorang manusia, terlahir di negeri pusat (dalam konteks Dharma, dimana ditemukan biksu/biksuni, upasaka/upasika), mempunyai indra-indra yang berfungsi dengan baik, tidak kehilangan kapasitas untuk menyelesaikan upaya-upaya spiritual (tidak melakukan akusala garuka kamma), memiliki keyakinan terhadap Tripitaka, munculnya para Buddha, pembabaran Dharma oleh para Buddha, dipertahankannya ajaran (merujuk pada realisasi para praktisi), penerusan ajaran, adanya welas asih orang lain (adanya donatur dan kondisi-kondisi lain yang menguntungkan dan mendukung berlangsungnya praktek Dharma).

Coba kita analisa dan kita bayangkan mengenai keunggulan ke-18 faktor yang telah disebutkan di atas. Bagaimana jika kita terlahir sebagai makhluk yang ekstrim mengalami penderitaan (misalnya makhluk neraka, hantu kelaparan) atau sebagai makhluk yang mengalami ekstrim kebahagiaan (misalnya dewa)? Dalam kondisi ekstrim seperti itu apakah mungkin bagi kita untuk mempraktekkan Dharma?

Kita ambil contoh sederhana yang jauh dibawah kedua kondisi ekstrim tersebut yaitu ketika kita mengalami sakit gigi ataupun sakit perut, maka pikiran kita akan terfokus pada rasa sakit tersebut. Apakah mungkin kita sempat berpikir untuk berbuat kebajikan? Sama halnya jika kita merasa kelaparan saat sesi pengajaran Dharma berlangsung maka pikiran kita akan teralihkan kepada makanan.

Berikutnya coba kita amati binatang, misalnya anjing. Apakah anjing dapat mempraktekkan Dharma? Walaupun mungkin anjing tersebut hidupnya mewah, makanannya saja bisa jadi lebih mahal dari makan siang kita hari ini. Akan tetapi anjing dan binatang lainnya tersiksa oleh kebodohannya.

Lalu bagaimana dengan dewa berumur panjang? Jika kita terlahir sebagai dewa maka kita akan terus terserap dalam konsentrasi terpusat bagaikan tidur, atau bisa jadi kita secara terus menerus tetap terbuai oleh kesenangan-kesenangan indra sehingga kita tidak dapat mengabdikan diri kita untuk mempraktekkan Dharma. Makhluk-makhluk yang berdiam di alam dewa ini umumnya tidak mempunyai sikap-sikap spiritual seperti penolakan terhadap samsara yang sejati dan keinginan murni untuk mempraktekkan Dharma.

Lalu coba kita perhatikan kembali bagaimana jika kita terlahir di daerah terpencil, di masa sebelum munculnya Buddha maka kita tidak akan mendengar kata Dharma sama sekali apalagi mempraktekkannya. Bagaimana dengan orang dungu yang mengalami ketebelakangan mental? Ia akan kesulitan dalam belajar mempraktekkan Dharma. Halangan terbesar untuk mempraktekkan dharma adalah mempunyai pandangan salah. Dengan memiliki pandangan salah maka kita tidak dapat menghimpun kebajikan.

Setelah kita amati bersama, kenyataannya kita telah mencapai kedelapan belas kondisi ini semua. Namun analisa dan perenungan kita tidak berhenti sampai disini. setelah kita telah berhasil menidentifikasi kedelapan belas faktor tersebut dalam diri kita lalu kita lanjut pada nilai besar 18 faktor tesebut dan betapa sulitnya untuk mendapatkannya. Dengan kelahiran kita sebgai manusia yang berharga ini kita dapat mencapai kebahagiaan yang sifatnya sementara maupun yang tertinggi, bahkan dari saat ke saat kita dapat menggunakan tiap momen hidup kita untuk mengumpulkan kebajikan.

Hampir semua orang tertarik untuk menjadi kaya, sukses dan terkenal, dimana hal ini adalah sangat mungkin kita raih dengan potensi kita saat ini. Namun apakah hanya sebatas itu potensi kita? Apakah hanya itu yang patut kita perjuangkan? Tidakkah kita berpikir tentang sesuatu yang melampaui itu semua? Dengan potensi kita saat ini kita sanggup mempersiapkan diri kita untuk kehidupan yang akan datang. Kita dapat mengumpulkan sebab agar kita dapat terlahir di alam tinggi pada kelahiran kita yang akan datang, kita dapat bebas dari samsara bahkan kita sanggup mencapai pencerahan sempurna. Lalu mengapa kita mengorbankan seluruh waktu dan hidup kita untuk sebuah pencapaian yang kecil (kebahagiaan di kehidupan ini saja), yang akan sirna saat kematian datang menjemput? Mengapa kita tidak berjuang untuk mendapatkan hal yang melampaui dari kehidupan ini saja?

Mungkin beberapa dari kita ada yang berpikir, ya memang kelahiran saya saat ini sangat berharga namun jika saya gagal menggunakannya dengan baik saat ini maka di kehidupan yang akan datang saya akan memanfaatkannya dengan baik. Namun pertanyaannya adalah apakah kesempatan itu akan datang untuk kedua kalinya? Untuk menjawab pertanyaan ini maka ada beberapa hal yang perlu kita analisa. Apa sebab kita terlahir sebagai manusia yang berharga? Yaitu praktek sila yang murni dan paramita serta doa dedikasi. Kita amati lagi bersama apakah kita telah mempraktekkan sila dan paramita dengan baik? Dalam keseharian kita lebih banyak melakukan karma buruk atau karma bajik? Apakah kita mendedikasikan kebajikan kita untuk kehidupan yang akan datang? Apakah isi doa dedikasi kita hanya minta kaya, sukses dan berumur panjang? Kemungkinan kelahiran sebagai manusia yang berharga bahkan lebih kecil dari kemungkinan leher kura-kura buta masuk ke gelang yang terombang - ambing di permukaan samudera, dimana kura-kura ini hanya muncul ke permukaan setiap 100 tahun. Sang Tathagata juga menyatakan bahwa jumlah makhluk hidup yang pergi ke alam-alam rendah baik dari alam-alam lebih tinggi ataupun alam-alam rendah seperti jumlah partikel tanah yang menutupi bumi yang luas. Sebaliknya jumlah makhluk hidup yang pergi ke alam-alam yang lebih tinggi seperti jumlah partikel tanah yang menempel di ujung jari Beliau.

Setelah kita merenungkan semua hal ini maka selama masa sisa hidup kita, seharusnya kita membaktikan diri sepenuhnya untuk Dharma dan berjuang memberi makna pada kebebasan dan keberuntungan kita. Apakah pantas bagi kita untuk duduk bermalas-malasan? Membuang permata pengabul harapan yang sudah ada di gengaman kita tanpa kita pernah memanfaatkannya. Membuang permata tersebut dan berharap akan mendapatkannya lagi kemudian. Apakah pikiran - pikiran ini telah berhasil menipu kita?

Bentuk kehidupan manusia yang telah kita peroleh saat ini adalah seperti saat kita telah mendorong batu di tengah jalan menuju puncak gunung, ada beberapa pilihan yaitu kita membiarkan batu tersebut mengelinding kembali ke bawah (red: membiarkan diri kita kembali jatuh ke alam rendah) atau kita mendorong batu tersebut sekuat tenaga sampai ke puncak gunung (red: membawa diri kita ke alam yang lebih tinggi ataupun mencapai pencerahan sempurna), atau minimal mempertahankan posisi batu tersebut di tengah (red: berusaha agar di kehidupan mendatang minimal kita tetap memiliki kualitas yang sama seperti kehidupan ini). Silahkan tentukan pilihan kita masing-masing.
Author: dr. Hety