Tidak ada perilaku yang lebih menipu
dan lebih keliru
Dibanding mendapatkan kesempatan
lalu tidak menanam kebajikan
Setelah menyadari hal ini jika aku
terus menerus bermalas-malasan karena kekeliruan
Kesedihan besar akan menimpa diriku
ketika menjelang kematian.
Shantideva-Bodhicaryavatara
sumber gambar: sugatagarbha.wordpress.com
Pernahkah kita mengalami
stres? Stres karena kita merasa diri kita ini tidak berharga dan lebih parahnya
membuat kita merasa rendah diri. Pernahkah kita coba mengamati diri kita
sendiri, mencoba mengenali dan menemukan apa keunggulan yang ada dalam diri
kita? Beberapa mungkin telah menemukan kelebihan diri masing-masing, misalnya
kita merasa diri kita cantik, tampan, pintar, kaya dan lain sebagainya. Apakah
hanya itu? Apakah ada yang jauh melampaui hal-hal tersebut?
Berbahagialah mereka yang
terlahir sebagai manusia yang memiliki 8 kebebasan dan 10 keberuntungan. Apakah
itu? Kebebasan yang dimaksud adalah kita bebas dari 8 kondisi ketidakbebasan
yang menghalangi kita untuk mempraktekkan Dharma. Delapan kondisi tersebut
antara lain: terlahir di neraka, terlahir sebagai hantu kelaparan, terlahir
sebagai seekor binatang, terlahir sebagai dewa berumur panjang, terlahir di
daerah terpencil, terlahir di masa sebelum munculnya Buddha, terlahir sebagai
manusia dengan keterbelakangan mental, mempunyai pandangan salah.
Keberuntungan adalah
kehadiran semua kondisi internal dan eksternal yang menguntungkan untuk praktek
spiritual. Sepuluh keberuntungan tersebut antara lain: menjadi seorang manusia,
terlahir di negeri pusat (dalam konteks Dharma, dimana ditemukan biksu/biksuni,
upasaka/upasika), mempunyai indra-indra yang berfungsi dengan baik, tidak
kehilangan kapasitas untuk menyelesaikan upaya-upaya spiritual (tidak melakukan
akusala garuka kamma), memiliki keyakinan terhadap Tripitaka, munculnya para
Buddha, pembabaran Dharma oleh para Buddha, dipertahankannya ajaran (merujuk
pada realisasi para praktisi), penerusan ajaran, adanya welas asih orang lain (adanya
donatur dan kondisi-kondisi lain yang menguntungkan dan mendukung
berlangsungnya praktek Dharma).
Coba kita analisa dan
kita bayangkan mengenai keunggulan ke-18 faktor yang telah disebutkan di atas. Bagaimana
jika kita terlahir sebagai makhluk yang ekstrim mengalami penderitaan (misalnya
makhluk neraka, hantu kelaparan) atau sebagai makhluk yang mengalami ekstrim
kebahagiaan (misalnya dewa)? Dalam kondisi ekstrim seperti itu apakah mungkin
bagi kita untuk mempraktekkan Dharma?
Kita ambil contoh
sederhana yang jauh dibawah kedua kondisi ekstrim tersebut yaitu ketika kita
mengalami sakit gigi ataupun sakit perut, maka pikiran kita akan terfokus pada
rasa sakit tersebut. Apakah mungkin kita sempat berpikir untuk berbuat
kebajikan? Sama halnya jika kita merasa kelaparan saat sesi pengajaran Dharma
berlangsung maka pikiran kita akan teralihkan kepada makanan.
Berikutnya coba kita
amati binatang, misalnya anjing. Apakah anjing dapat mempraktekkan Dharma?
Walaupun mungkin anjing tersebut hidupnya mewah, makanannya saja bisa jadi
lebih mahal dari makan siang kita hari ini. Akan tetapi anjing dan binatang
lainnya tersiksa oleh kebodohannya.
Lalu bagaimana dengan
dewa berumur panjang? Jika kita terlahir sebagai dewa maka kita akan terus
terserap dalam konsentrasi terpusat bagaikan tidur, atau bisa jadi kita secara
terus menerus tetap terbuai oleh kesenangan-kesenangan indra sehingga kita
tidak dapat mengabdikan diri kita untuk mempraktekkan Dharma. Makhluk-makhluk
yang berdiam di alam dewa ini umumnya tidak mempunyai sikap-sikap spiritual seperti
penolakan terhadap samsara yang sejati dan keinginan murni untuk mempraktekkan
Dharma.
Lalu coba kita
perhatikan kembali bagaimana jika kita terlahir di daerah terpencil, di masa
sebelum munculnya Buddha maka kita tidak akan mendengar kata Dharma sama sekali
apalagi mempraktekkannya. Bagaimana dengan orang dungu yang mengalami ketebelakangan
mental? Ia akan kesulitan dalam belajar mempraktekkan Dharma. Halangan terbesar
untuk mempraktekkan dharma adalah mempunyai pandangan salah. Dengan memiliki
pandangan salah maka kita tidak dapat menghimpun kebajikan.
Setelah kita amati
bersama, kenyataannya kita telah mencapai kedelapan belas kondisi ini semua.
Namun analisa dan perenungan kita tidak berhenti sampai disini. setelah kita
telah berhasil menidentifikasi kedelapan belas faktor tersebut dalam diri kita
lalu kita lanjut pada nilai besar 18 faktor tesebut dan betapa sulitnya untuk
mendapatkannya. Dengan kelahiran kita sebgai manusia yang berharga ini kita
dapat mencapai kebahagiaan yang sifatnya sementara maupun yang tertinggi,
bahkan dari saat ke saat kita dapat menggunakan tiap momen hidup kita untuk
mengumpulkan kebajikan.
Hampir semua orang
tertarik untuk menjadi kaya, sukses dan terkenal, dimana hal ini adalah sangat
mungkin kita raih dengan potensi kita saat ini. Namun apakah hanya sebatas itu
potensi kita? Apakah hanya itu yang patut kita perjuangkan? Tidakkah kita
berpikir tentang sesuatu yang melampaui itu semua? Dengan potensi kita saat ini
kita sanggup mempersiapkan diri kita untuk kehidupan yang akan datang. Kita
dapat mengumpulkan sebab agar kita dapat terlahir di alam tinggi pada kelahiran
kita yang akan datang, kita dapat bebas dari samsara bahkan kita sanggup
mencapai pencerahan sempurna. Lalu mengapa kita mengorbankan seluruh waktu dan
hidup kita untuk sebuah pencapaian yang kecil (kebahagiaan di kehidupan ini
saja), yang akan sirna saat kematian datang menjemput? Mengapa kita tidak
berjuang untuk mendapatkan hal yang melampaui dari kehidupan ini saja?
Mungkin beberapa dari
kita ada yang berpikir, ya memang kelahiran saya saat ini sangat berharga namun
jika saya gagal menggunakannya dengan baik saat ini maka di kehidupan yang akan
datang saya akan memanfaatkannya dengan baik. Namun pertanyaannya adalah apakah
kesempatan itu akan datang untuk kedua kalinya? Untuk menjawab pertanyaan ini
maka ada beberapa hal yang perlu kita analisa. Apa sebab kita terlahir sebagai
manusia yang berharga? Yaitu praktek sila yang murni dan paramita serta doa
dedikasi. Kita amati lagi bersama apakah kita telah mempraktekkan sila dan
paramita dengan baik? Dalam keseharian kita lebih banyak melakukan karma buruk
atau karma bajik? Apakah kita mendedikasikan kebajikan kita untuk kehidupan
yang akan datang? Apakah isi doa dedikasi kita hanya minta kaya, sukses dan
berumur panjang? Kemungkinan kelahiran sebagai manusia yang berharga bahkan
lebih kecil dari kemungkinan leher kura-kura buta masuk ke gelang yang
terombang - ambing di permukaan samudera, dimana kura-kura ini hanya muncul ke
permukaan setiap 100 tahun. Sang Tathagata juga menyatakan bahwa jumlah makhluk
hidup yang pergi ke alam-alam rendah baik dari alam-alam lebih tinggi ataupun
alam-alam rendah seperti jumlah partikel tanah yang menutupi bumi yang luas.
Sebaliknya jumlah makhluk hidup yang pergi ke alam-alam yang lebih tinggi
seperti jumlah partikel tanah yang menempel di ujung jari Beliau.
Setelah kita merenungkan
semua hal ini maka selama masa sisa hidup kita, seharusnya kita membaktikan
diri sepenuhnya untuk Dharma dan berjuang memberi makna pada kebebasan dan
keberuntungan kita. Apakah pantas bagi kita untuk duduk bermalas-malasan?
Membuang permata pengabul harapan yang sudah ada di gengaman kita tanpa kita
pernah memanfaatkannya. Membuang permata tersebut dan berharap akan
mendapatkannya lagi kemudian. Apakah pikiran - pikiran ini telah berhasil
menipu kita?
Bentuk kehidupan manusia
yang telah kita peroleh saat ini adalah seperti saat kita telah mendorong batu
di tengah jalan menuju puncak gunung, ada beberapa pilihan yaitu kita
membiarkan batu tersebut mengelinding kembali ke bawah (red: membiarkan diri
kita kembali jatuh ke alam rendah) atau kita mendorong batu tersebut sekuat
tenaga sampai ke puncak gunung (red: membawa diri kita ke alam yang lebih
tinggi ataupun mencapai pencerahan sempurna), atau minimal mempertahankan
posisi batu tersebut di tengah (red: berusaha agar di kehidupan mendatang
minimal kita tetap memiliki kualitas yang sama seperti kehidupan ini). Silahkan
tentukan pilihan kita masing-masing.
Author: dr. Hety