Monday, August 31, 2015

Berguru pada Guru Spiritual

Ditulis oleh poeterafajar,
Jakarta, 27 Juli 2015

Berbakti pada guru spiritual merupakan sebuah perjalanan, yang tak akan pernah putus sampai kita mencapai Kesempurnaan Batin. Perkembangan batin seseorang tidak bisa diukur berdasarkan waktu, melainkan berdasarkan seberapa kuat kemauan atau motivasi seseorang untuk mencapai keadaan batin yang stabil. Bukan persoalan berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkembang, tetapi lebih mengarah ke seberapa kuat kemauan kita untuk  bisa bekembang.

Aku berasal dari keluarga Tionghoa dan aku dididik berdasarkan kebudayaan Tionghoa yang keras. Yang dimana anak laki-laki tidak boleh nangis, air mata adalah simbol kelemahan laki-laki, dan anak laki-laki terutama anak pertama harus melakukan tanggung jawab ini itu segala macam, membawanama besar keluarga, menghasilkan banyak duit, mengangkat status keluarga. Dan yang paling parah adalah bahkan anak laki-laki ini tidak tahu-menahu kenapa dia harus melakukan semua hal ini. “Jangan banyak tanya. Just do it…” kata-kata ini yang biasa terlontar dari mulut ortu yang mungkin malas menjelaskan mengenai sesuatu kepada anaknya. Terlalu cepat kalimat ini dilontarkan kepada seorang anak usia 6-7 tahun, yang tidak tahu bagaimana caranya berbakti, meraka akan berontak atau mengikuti ucapan orang tuanya atas dasar perasaan takut dipukul.

Secara langsung ataupun tidak, kita tak memberi kesempatan pada diri kita untuk mengenal dan mengembangkan hati kita. Yang ada malah kita sibuk meng-copycat kepribadian orang tua kita dan mengesampingkan dan even worse membekukan hati kita.
Bukan maksud untuk mencemooh kebudayaan tionghoa, aku selalu mempercayai sebuah kebudayaan bisa bertahan hidup selama beribu-tahun sampai sekarang pastilah didasari oleh nilai-nilai luhur dan bajik. Yang menjadi masalah adalah seberapa dalam  persepsi manusia dalam memahami nilai-nilai tersebut. Bukan pada budayanya tapi lebih kepada orang yang memahami dan mengimplementasikan budaya sebagai way of life itu yang perlu dipertanyakan. Dengan pemahaman kebudayaan yang setengah-setengah, maka kita akan mendapatkan hasil yang setengah-setengah pula or even worse.

“Banyak orang merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan pada hidup mereka.”
– Suhu Bhadraruci-

Statement ini merupakan alasan utama yang sangat mendasar dan kritis kenapa kita harus mengenaldiri kita. Jika kita tidak mengenal hati kita,bagaimana kita dapat menemukan cara untuk mengembangkan diri kita? Kita sangat sering mengacuhkan hati kita, hal ini kita lakukan selama bertahun-tahun dan membuat hati kita menjadi keras.
Hati yang keras adalah hati yang selalu merasa diri baik-baik saja, I’m fine, takut melihat ke dalam hati kita yang sebenarnya, afraid of who we are exactly, secara tidak langsung kita membuang diri kita yang sebenarnya. Dan akhirnya kebanyakan orang hanya mengikuti jalan hidup orang yang sukses menurut diri kita dan orang sekeliling kita. Inilah yang tahapan bagaimana mainset bisa terbentuk. Tak heran orang bijak sering berkata: “Orang disekitar dan lingkunganlah yang membentuk diri kita.”

Orang yang berhati keras adalah orang yang memiliki hidup yang menderita but meraka tidak tahu kalau mereka menderita, Jika mereka menyadarinya saat itu pula mereka bakal mencari cara untuk memperlembut hati mereka logically speaking, kita mencari kenyamanan dan menghindari penderitaan. Mereka hidup tidak berdasarkan apa kata hati sendiri, melainkan apa kata orang lain dan lingkungan sekitar. Hidup bukan atas kemauan hati sendiri. Bagaimana kita tahu apa yang kita mau, jika kita tidak mengenal dengan baik siapa diri kita?

“Cry is not a crime”
–Bude Novi-

Kalimat ini pula yang menyadarkanku akan seberapa kerasnya aku terhadap hatiku selama 20 tahun ini. “Nangislah pada saat ingin menangis dan jangan ditahan. Rasakan dan pahami kemudian ekspresikan hatimu, jadikan hatimu lembut.” Masih teringat ucapan Bude yang membekas pada ingatanku sampai sekarang.
 
Sejak saat itu,aku berusaha mengenal dan menerima diriku sendiri, dan Aku aware akan kondisi diriku. Dari sikap aware ini baru bisa merasakan seberapa menderita dan tak nyamannya diriku, dan karena  aku tahu aku menderita, aku mencoba mencari cara untuk tidak menderita, lebih jauh lagi pada saat kita mencari, mendapatkan dan kemudian melakukan cara tersebut, aku menoleh ke belakang dan aku sadar bahwa aku tak sendirian, banyak orang yang 'terjebak’ dalam hal yang sama. Baru timbul rasa kasihan melihat orang lain menderita dan mencoba untuk menolong mereka. Inilah pemikiran yang sangat simple dan mendasar dari batin welas asih.

Hati yang lembut adalah hati yang menerima diri, baik-buruk, kuat-lemah, apa adanya. Dari hati yang lembut aku belajar banyak hal. Aku paham seperti apa diriku, apa passion-ku yang sebenarnya, dan bahkan tahu bagaimana cara untuk mengembangkan batin dan diriku yang akhirnya berujung pada kestabilan hati dan kebahagiaan sejati.

Suhu sering berkata : “Batin welas asih adalah sumber dari semua aktivitas bajik.” Batin welas asih tak akan pernah muncul dari hati yang keras, batin welas asih muncul pada hati yang lembut. Sebuah batin yang bisa merasakan penderitaan diri sendiri dan empati pada orang lain. Singkat kata dari kelembutan hati inilah yang bisa membuat keseluruhan aktivitas menolong yang kita lakukan menjadi bajik.

Itulah sebabnya tak heran dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat seseorang (termasuk diriku) yang memiliki hati yang keras sepanjang hidupnya bahkan sampai dia mati. Sebaliknya, ada orang yang awalnya berhati keras tapi lama-kelamaan menjadi tambah lembut dan juga memiliki batin yang semakin stabil seiring bertambahnya usia.

Dan sekarang pertanyaan mendasar yang harus ditanyakan ke diri kita masing-masing adalah  ‘Apakah kita sadar (aware) akan kondisi batin kita?’ Kemudian setelah kita sadar tentang seberapa parahnya batin kita, apa yang kemudian kita lakukan? Apakah tetap membiarkannya atau bertekad untuk berubah dan berkembang ke kondisi batin yang lebih stabil?

Ya, memang tak dapat dipungkiri bahwa seseorang menjadi keras atau lembut tergantung didikan orang tua, kondisi lingkungan dan berbagai faktor eksternal lainnya. Namun terlepas dari itu yang paling penting sebenarnya kitalah yang (secara sadar atau terpaksa) memilih untuk menuruti mereka atau tidak.
Namun kebanyakan situasi sering mengarahkan kita menuju ‘keterpaksaan’ dalam memilih. Dan tak jarang pula akibat dari ‘keterpaksaan’ tersebut menimbulkan kegagalan atau hasil yang tak sesuai ekspektasi. Mengapa kita sering mengarah ke situasi ‘terpaksa’? Karena kita tidak cukup kuat dan stabil untuk memilih yang mana sering kali menghasilkan sikap ragu dalam menentukan pilihan. Mengapa ragu? karena kita kurang wawasan dan kurang belajar. Mengapa kita malas belajar?  Karena tidak merasa pelajaran tersebut bermanfaat untuk kita.

Biasanya hal ini yang terjadi pada self-talk kita, dan bagaikan lingkaran setan, pola ini akan terjadi terus-menerus selama kita tidak memutuskan lingkaran tersebut dan berkembang. Untuk memutuskan lingkaran tersebutlah kita butuh 2 hal, yaitu Guru yang handal dan kesungguhan hati untuk mengembangkan batin.

Seorang Guru yang handal tentu merupakan seseorang yang sudah melewati fase ‘keterpaksaan’ tadi dan tahu cara melewatinya. Dan tentunya beliau hanya bisa mengajar dan mendidik, mau atau tidak, nurut atau tidak, kembali lagi ke diri kita masing-masing.
Berguru itu sangat tidak mudah, seperti berhadapan pada batin kita sendiri ibarat cermin. Memperlihatkan seberapa parah dan hitamnya batin kita. Ini merupakan pelajaran seumur hidup yang tidak gampang untuk direalisasikan. Siapa sih yang mau mengakui bahwa batin kita buruk dan mementingkan diri sendiri? Siapa sih yang mau dikritik? Siapa sih yang tidak mau dipuji dan senang dengan pujian?

Dan yang lebih parahnya lagi, siapa sih yang mau dengan rela mengkritik batin kita yang hitam dan memarahi sikap mementingkan diri sendirinya kita? Kalau bukan guru kita sendiri. Padahal beliau tahu jelas, dengan beliau mengkritik diri kita, beliau akan dibenci.

Beliau mengkritik karena beliau kasihan, peduli dan sayang terhadap kita. Beliau tidak ingin kita mengalami hal buruk yang dulu pernah beliau alami. Atas dasar inilah yang menjadi pijakan dasar kenapa beliau mau dan rela susah payah mengajari dan mendidik kita. Tetapi kembali lagi beliau tidak bisa hanya bekerja sendiri, tanpa kesungguhan hati dari kita.

“Setelah mengembara dalam samsara, adalah [Para Guruku] yang menemukanku.
Terhalang oleh delusi, adalah Mereka yang membangunkanku dari tidur.
Setelah tenggelam dalam samudra samsara, adalah Mereka yang menarikku keluar.
Setelah tersesat, adalah Mereka yang menunjukkanku jalan yang benar.”

Teramat indah bait yang  dikutip dari Sutra Dasadharmaka diatas. Memang benar orang tua kita sangat berjasa dalam hal memberikan kita tubuh jasmani, namun dengan tubuh jasmani saja tidaklah cukup, kita harus menyadari seberapa berharga tubuh manusia tersebut dan menarik manfaat sebesar-besarnya dari tubuh manusia tersebut. Namun yang mampu menuntun kita setahap demi setahap untuk mencapai realisasi seperti ini tidak lain adalah seorang Guru.

Berkat kebaikan hati beliaulah kita dapat sadar (aware) dan melakukan hal yang benar sehingga menghasilkan kebajikan, menghindari perbuatan buruk dan terhindar dari akibat karma hitam. Bisa dikatakan tanpa Berkah Guru, tak akan ada kebajikan. Tanpa kebajikan, kita akan mati dan kemungkinan besar terjatuh kembali di alam rendah. (Guru adalah dasar dari semua kualitas baik yang aku miliki). Hal inilah yang merupakan sebab mendasar kenapa kita harus berbakti dan bertumpu pada guru spiritual dengan sungguh-sungguh.

Tuesday, August 25, 2015

KCJ Goes To Museum!!

Bagaimana Anda Memaknai Kemerdekaan?

Pertanyaan simple yang mungkin sulit untuk kita jawab secara gamblang di 70 tahun Indonesia Merdeka.  Kemajuan teknologi, kebebasan berpendapat, hingga mulai memudarnya rasa cinta tanah air mungkin bisa kita jadikan “kambing hitam”. Namun, “kambing hitam” itu tidak akan pernah jadi “kambing hitam” apabila kita mau, dan pastinya bisa, mengenang dan memaknai perjuangan para pahlawan yang rela berkorban waktu, tenaga, hingga nyawa untuk memerdekakan Indonesia.
 



KCJ berinisiatif untuk memulai suatu gerakan kecil untuk mengenang dan memaknai perjuangan pahlawan kita, yaitu dengan cara berkunjung ke museum. Kegiatan ini diprakarsai oleh Katherine Chandra dan Erlina Erwan untuk menggerakkan massa.
 
Museum yang dituju adalah Museum Bank Indonesia yang terletak di Kawasan Kota Tua Jakarta. Memasuki gedung tua yang berarsitekturkan Belanda kuno itu, tidak disangka kami disambut oleh sebuah museum modern yang ciamik dalam menampilkan perjalanan perekonomian Nusantara dari masa-masa kejayaan kerajaan, masa penjajahan, masa kemerdekaan, hingga sekarang. Perjalanan bagaimana perekonomian dapat membuat Indonesia berjaya hingga Indonesia kandas karena dijajah, diceritakan dengan tampilan yang modern disertai tata pencahayaan yang menarik. Bagaimana peranan penting perekonomian dalam masa-masa awal kemerdekaan, Gunting Syafrudin, hingga krisis moneter 1997 diceritakan dengan lengkap mulai dari penyebabnya, dampak yang dihasilkan, hingga pelajaran apa yang bisa kita tarik dari kejadian-kejadian tersebut dan dapat dipelajari secara menyenangkan.
 
Setelah melihat perjalanan perekonomian nusantara, perjalanan kami dilanjutkan ke museum wayang yang masih di Kawasan Kota Tua Jakarta. Melihat beragamnya jenis wayang di Nusantara, memberikan arti sangat kayanya kebudayaan Bumi Nusantara yang kita tinggali saat ini. Meskipun awalnya terkesan “menyeramkan” karena berlokasi di bangunan tua serta aroma barang antik yang kadang membuat bulu kuduk merinding, secara keseluruhan museum wayang layak dikunjungi untuk membuka mata kita akan kayanya kebudayaan Nusantara yang perlu kita banggakan.
 
Sebenarnya masih banyak museum yang bisa dikunjungi di Kawasan Kota Tua Jakarta, namun dikarenakan waktu yang sudah menjelang sore dan pegelnya kaki karena jalan terus, perjalanan menjelajahi museum disudahi untuk kali ini. Kegiatan ini memang terkesan kecil dan remeh, namun dari kegiatan kecil ini diharapkan tumbuh rasa kebanggaan dan cinta akan Tanah Air Indonesia, tempat dimana kita lahir, hidup, (semoga) hingga menutup usia. 

Jadi, Bagaimana Anda memaknai kemerdekaan?
Kalau kami, memulai langkah yang kecil agar bisa melakukan perjalanan dari Sabang hingga Merauke.

Sampai bertemu lagi di perjalanan-perjalanan berikutnya. MERDEKA!!!

Selamat Ulang Tahun Y.M. Tenzin Kunchog

Pada tanggal 14 Agustus 2015, bertepatan dengan diadakannya Sojong di Kadam Choeling Jakarta, Anggota KCJ berkesempatan untuk merayakan bersama ulang tahun Y.M. Tenzin Kunchog. Setelah selesai Sojong sekitar pukul 22.00, kue ulang tahun yang telah dipersiapkan sebelumnya dibawa masuk ke Hall beserta lilin-lilin yang menyala terang. Diiringi lagu “Selamat Ulang Tahun”, Y.M. Tenzin Kunchog memanjatkan doa di hari ulang tahunnya.
Sebelum tiup lilin, tidak lupa kami wefie bersama di momen berbahagia ini. Teriring doa kami untuk Y.M. Tenzin Kunchog, semoga aspirasi dan cita-cita Beliau dapat cepat tercapai dan halangan-halangan diminimalisir, api yang menyala-nyala diatas kue ditiup disertai tepuk tangan yang bersahut-sahutan. Acara ditutup dengan membagi-bagikan kue untuk disantap bersama-sama.
Sampai ketemu lagi di momen-momen berbahagia KCJ berikutnya.

Meditasi itu….

Artikel ini ditulis pada tanggal 11 Agustus 2015

Sesekalinya berada di tengah pusat perbelanjaan, ada satu hal yang tertangkap cukup sering, yaitu tas gym. Kebetulan pada tas tersebut terdapat nama gym yang bersangkutan, sehingga saya bisa menyimpulkan ya, ini tas gym, bukan sekedar tas pada umumnya. Karena penasaran lalu mencari tahu lebih lanjut tentang gym dan fitness dari kenalan yang kebetulan juga punya tas yang sama. Jadi kita membayar sejumlah tertentu uang kepada gym, lalu kita menjalani serangkaian latihan, dipandu instruktur, lalu pakai alat A, B dan C, lalu selesai, lelah, pegal, pulang, lalu di jam dan hari yang lain melanjutkan latihan. Keluarannya suatu saat di masa mendatang adalah mungkin lebih kurus, lebih berisi, tubuh lebih estetis, mungkin. Sederhananya, ada niatan ‘tuk menjalani latihan, ada suatu disiplin, ada uang, waktu, dan tenaga yang dikerahkan, sehingga ada keluaran yang diperoleh dari upaya.

Tadi itu bicara olah fisik. Untuk olah mental, meskipun tidak ada gym khusus mental atau setidaknya yang terang-terangan deklarasi, upaya untuk mengolah mental juga cukup banyak. Ini dapat dilihat dari banyaknya berbagai buku bergenre self-help, berjudul ‘rahasia’, sup ayam, 4 kebiasaan, 6 kebiasaan, mungkin kelak 100 kebiasaan seiring waktu. Juga banyak seminar motivasi, pelatihan-pelatihan memprogram pikiran (bukan hipnotis), dan sebagainya. Secara garis besar polanya mirip dengan fitness, bayar uang sejumlah tertentu, dipandu, ada tahapan, harus ini dan itu, dan seterusnya. Sang Buddha juga sejak 2500-an tahun lalu juga sebenarnya sudah meresepkan hal yang sama, bedanya adalah tanpa biaya. Mungkin karena kalah dalam iklan dan kampanye, Ajaran Buddha dan Guru Besar Buddhis  tentang meditasi tidak menjadi best seller atau sesuatu yang happening di korporat.

Meski beda secara biaya, secara pamor, metode, dan nilai, antara meditasi dan seminar maupun training motivasi dan sebagainya itu, tetapi mereka melihat kesamaan bahwa pikiran dan batin adalah aset yang harus diolah. Tapi kenapa saya memilih Meditasi Buddhis di antara semua pendekatan tersebut, adalah karena jurus olah batin ala Buddha lah yang menyelesaikan masalah tanpa masalah yang berfungsi juga untuk kehidupan mendatang; selain juga karena saya seorang Buddhis atau paling tidak beratribut Buddhis maka saya berpihak, esprit de corps, dan seminimalnya karena saya diminta menulis artikel tentang Meditasi Buddhis dan ditagih.

Meditasi Buddhis juga seperti halnya fitness memiliki suatu disiplin tertentu, menjalankannya secara serampangan akan menimbulkan efek samping kebosanan, kapok, atau malah kebal atau bebal terhadap efek meditasi alias batin membatu tak bisa berubah; kita yang berumur 30 tahun akan tetap memiliki batin kita yang 10 tahun, semacam itu kurang lebih. Sesi meditasi yang ideal dijelaskan dalam kitab suci adalah 4 sesi, subuh, pagi, siang, dan malam sebelum tengah malam. Durasinya, Yang Mulia Kamalasila menjelaskan, adalah satu jam, atau setengahnya, atau lebih sedikit lagi selama kita masih bersemangat; sehingga ketika berhenti dari meditasi kita berhenti dengan impresi yang baik terhadap meditasi, bukan sebaliknya, muak dan di kemudian hari melihat bantalan meditasi sebagai momok seram.

Bagaimana bermeditasi diajarkan dalam Gomchen Lamrim atau karya Lamrim lainnya adalah objek meditasi harus ditetapkan terlebih dahulu, begitu juga urutannya, tidak boleh ada penambahan atau pengurangan, dan seterusnya. Merujuk daripada instruksi ini, maka sebelum bermeditasi, kita harus terlebih dahulu kenal dengan objek meditasi, dan setidaknya punya familiaritas tertentu sehingga tidak melupakannya di tengah meditasi kita. Dengan demikian, ini menjelaskan mengapa studi-kontemplasi-meditasi merupakan urutan penting dalam menjalankan meditasi. Kebutuhan studi sangat mendesak karena begitu banyak pilihan objek meditasi yang masing-masing punya TUPOKSI-nya masing-masing untuk mengatasi kilesha tertentu agar mencapai tujuan. Untuk semakin memperkuat lagi perlu dan mendesaknya belajar demi mendukung meditasi, mengutip nasehat Buddha dalam Sutra Sadhnirmochana:
“… Para Bodhisattva ini harus mendengarkan Ajaran-ajaran ini dengan benar, mengingat isinya, melatih pelafalan lisan, dan menganalisanya secara seksama. Dengan pemahaman sempurna, mereka harus pergi ke tempat terpencil seorang diri dan merenungkan Ajaran-ajaran ini serta memusatkan perhatian pada Ajaran tersebut secara terus-menerus…”

Jika seorang Bodhisattva saja juga harus belajar, apalagi saya, dan mereka, dan anda yang seperti saya? Maka sungguh luas dan mendalam nasehat Yang Mulia Suhu Bhadraruci, Butuh Banyak Belajar Biar Bisa Bantu Banyak Orang (B7O).

Berikutnya, yang merupakan tombol start untuk meditasi adalah niat (‘tuk bermeditasi). Untuk menumbuhkan niat bermeditasi, mengetahui manfaat dari meditasi adalah penting, dan agar manfaat tersebut bisa relevan maka kita memerlukan ketertarikan antara batin dan kehidupan kita. Alexander Berzin menjelaskan bahwa, “kita bukan seorang korban dari apapun yang dilemparkan oleh kehidupan kita. sebaliknya kita berperan sentral pada apa dan bagaimana kita mengalami kehidupan kita… untuk melakukanya kita harus tahu bagaimana cara kerja batin kita.” Begitu kita bisa menempatkan batin posisi awalnya yang adalah pusat kehidupan kita, barulah manfaat meditasi bisa relevan bagi kita. Tanpanya, bisa jadi meditasi menjadi sekedar olahraga, olahraga diam dalam hening sambil bersila.

Akhir kata, seperti halnya ketika fitness, anda juga butuh seorang instruktur, sama halnya dan apalagi dalam meditasi juga butuh pemandu. Makanya Lamrim mengatakan guru spiritual adalah Akar dari Sang Jalan.
Sarva Manggalam [tk]

Keagungan Ajaran

 Artikel ditulis oleh Attha Surya Dharma, 23 Juli 2015 

Dharma ini lebih baik, yang ini kurang baik. Dharma yang ini yang harusnya aku praktikkan, Dharma yang itu aku tidak dapat terima dengan akalku. Praktik Dharma ini superior, aku harus menjalankan yang ini saja, dan tidak membuang waktu lebih banyak terhadap praktik yang lain (yang lebih inferior). Ketika kita tidak dengan cara yang baik mengerti suatu Dharma, akan sangat mudah muncul pemikiran-pemikiran demikian, yang membuat Dharma yang kita pelajari menjadi percuma (malah akan berakibat negatif)  karena kesalahan kita sendiri membangkitkan pikiran yang tidak bajik. Namun dengan metode Lamrim, Jalan Bertahap Menuju Pencerahan, kita akan dapat mengerti bagaimana keseluruhan Teks Dharma ini berkaitan satu sama lainnya dalam kesatuan sistem yang koheren (logis dan masuk akal).

Apakah yang disebut dengan Ajaran? Disini, Ajaran yaitu Dharma dalam bahasa sansekerta, atau Dhamma dalam bahasa Pali, atau Cho dalam bahasa Tibet, merujuk kepada teks akar dari Instruksi Pelita Sang Jalan menuju Pencerahan oleh Atisha. Menurut sumber Teks Instruksi Guru Yang Berharga, ada empat bagian untuk menjelaskan kualitas unggul dari ajaran Lamrim. Dengan belajar dan mempraktekkan Lamrim:
  1. Kita akan memiliki kemampuan untuk memahami bahwa semua Ajaran Buddha bebas dari pertentangan
  2. Semua literatur akan terlihat sebagai Instruksi untuk berlatih/berpraktik Dharma
  3. Kita dapat dengan mudah mengerti maksud dari Sang Penakluk, dalam artian kita dapat mencapai tahapan jalan karena luasnya Dharma Sang Buddha telah diorganisasikan dalam satu sistem yang koheren
  4. Dengan secara alami kita akan terbebas dari kesalahan besar mengabaikan/menolak dharma

Mari kita memulai dengan membahas poin yang pertama, bahwa (1) tidak ada pertentangan di seluruh Ajaran Buddha. Bagian ini amat penting dan sering kita jumpai di sekitar kita, bahwa yang mempercayai Tipitaka pali, menyatakan bahwa Tripitaka sanskrit tidak valid, juga demikian sebaliknya. Hal ini kerap terjadi jika kita gagal melihat Ajaran Buddha adalah tanpa pertentangan. Bila kita mempelajari asal usul Ajaran Buddha, dan darimana suatu Tripitaka itu disusun dan ditulis oleh Guru-guru masa lampau, kita akan mengenali bahwa sebenarnya Sang Buddha mengajarkan Dharma kepada murid-muridnya atas dasar kapasitas seorang murid, bukan berdasarkan apa yang Beliau ketahui. Sang Buddha amat mahir dalam mengajar, Beliau dapat mengajar dalam satu sesi Ajaran Dharma kepada berbagai jenis kapasitas manusia. Bila kita mengingat kualitas ucapan Sang Buddha, bahwa Sang Buddha dapat menjawab berbagai pertanyaan berbeda dari semua makhluk di alam semesta dalam satu waktu yang sama dengan pernyataan tunggal yang akan didengar oleh setiap makhluk tersebut dalam bahasa mereka masing-masing dan dengan cara yang sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing (Liberation In Our Hand Jilid 2, hal 293).  

Sang Buddha memutarkan tiga roda Dharma selama hidupnya, yang dari situ dapat kita golongkan menjadi tiga kendaraan, yaitu Hinayana, Mahayana, dan Tantrayana. Mereka dapat saja terlihat tidak konsisten bila kita melihat hanya dipermukaannya, dikarenakan Buddha mengajar hal yang berbeda dalam waktu yang berbeda tergantung pada apa yang cocok pada seorang murid, namun karena semua Ajaran yang berbeda ini adalah tujuannya untuk mencapai ke kebuddhaan yang lengkap dan sempurna, maka tidak ada kontradiksi diantara Ajaran Buddha ini. Je Rinpoche juga menyebutkan dalam Risalah Agung Tahapan Jalan Mantram, “Dari berbagai arah banyak sungai yang mengalir ke lautan luas”.

Cara untuk memahami bahwa semua Ajaran Buddha adalah bebas dari pertentangan adalah dengan bertumpu kepada Guru yang Suci untuk mendapatkan pemahaman yang kokoh bahwa semua kitab adalah sebab untuk seseorang mencapai pencerahan, baik itu ajaran Hinayana, Mahayana, ataupun Vajrayana. Setelah hal ini, tidak akan terlihat mana perbedaan diantara ketiganya, kita akan mengembangkan rasa hormat yang setara kepada mereka semua. Dengan cara ini, juga kita dapat memulai memilih yang mana yang sesuai bagi kita untuk dipraktikkan. Tentu saja, banyak diantaranya yang diri kita belum siap untuk mempraktekkan suatu Instruksi, namun terhadap Instruksi yang kita belum mampu ini, adalah hal yang baik jika kita tidak bersikap “menolak/meninggalkan” Instruksi Dharma tersebut sama sekali, melainkan kita dapat berpikir “Walaupun saat ini saya belum dapat melakukan (Instruksi tersebut), saya berdoa suatu waktu nanti saya dapat melaksanakan praktik tersebut dan meninggalkan hal-hal yang negatif, dan semoga hal ini terjadi sesegera mungkin” hal ini akan menjadi sebab (sebagai pengakumulasian kebajikan dan menghancurkan penghalang melalui praktik pengakuan dan purifikasi) untuk mendapatkan kualitas batin yang sesuai untuk mempraktikkan hal-hal yang belum dapat kita praktikan sebelumnya.    

Hal kedua yang menjadi keunggulan metode Lamrim ini adalah, (2) dapat melihat Ajaran sebagai Instruksi pribadi. Mengapa Instruksi pribadi? Mari kita ambil contoh, bahwa Dharma ini adalah sebagai obat. Obat dari dokter (yaitu Sang Buddha) yang dapat mengobati penyakit (kilesha) dari seseorang, agar seseorang dapat mencapai kebahagiaan dan lepas dari penderitaan. Serupa dengan ketika kita sakit demam, sang dokter akan menginstruksikan kita untuk meminum obat sesuai anjuran, dengan berbagai macam metode yang harus dilakukan dan harus di pantang (semisal tidak boleh minum es dan harus istirahat total). Demikian juga yang seharusnya terjadi, Dharma tersebut haruslah berupa Instruksi yang jelas dan tepat mengenai apa saja yang harus kita lakukan untuk melatih batin kita agar kita dapat mencapai kebahagiaan dan bebas dari penyakit.

Secara umum, kedamaian nirvana, dan juga segala bentuk kebahagiaan dan keuntungan sementara hanya dapat ditemukan dalam Kitab Sang Buddha. Hanya ketika seseorang bebas dari segala kebingungan, dapat menunjukkan kepada kita yang mana yang seharusnya dipraktikkan dan mana yang seharusnya ditinggalkan. Kumpulan dari Instruksi-instruksi Buddha ini, terdapat pada Sutra dan Tantra. Namun seiring dengan berlalu waktu, dan mulai merosotnya kebajikan manusia (dibandingkan dengan waktu Sang Buddha masih hidup dan mengajar), maka mulai banyak murid yang tidak dapat melihat kata-kata Buddha di dalam kitab suci ini sebagai Instruksi. Maka dari itulah Guru-Guru Agung seperti Guru Atisha, Guru Je Tsongkhapa dan lainnya, menyusun ulasan dari kata-kata Buddha tersebut untuk mengklarifikasi maksud dari Sang Buddha dan mentransmisikan Instruksi pribadi kepada murid-muridnya. Tanpa ulasan tersebut kita tidak akan dapat (amat sangat sulit) untuk mengerti secara akurat ajaran Buddha yang amat luas. Jika kita merasa setelah mempelajari sutra dan ulasan namun menemukan bahwa yang kita pelajari adalah tidak berguna untuk praktek kita sendiri, berarti kita sudah jatuh pada kesalahan bahwa kita gagal memahami ajaran Buddha sebagai instruksi pribadi yang harus kita jalankan. Mengutip perkataan dari Dromtonpa, “Jika, setelah mempelajari begitu banyak Dharma, kamu merasa butuh mencari kumpulan lain dari ajaran untuk dipraktekkan, maka kamu telah melakukan semuanya salah”. Hal ini digambarkan juga seperti layaknya kuda pacuan, ketika sebelum perlombaan, adalah baik untuk seekor kuda pacuan untuk mempelajari lintasan yang akan diperlombakan. Namun, adalah hal yang amat bodoh, ketika kita melatih kuda pacuan di suatu lintasan, lalu melombakannya di lintasan yang berbeda. Dan kesalahan ini adalah hal-hal yang akan dihalau dengan mempelajari metode Lamrim, kita akan mempelajari dan menemukan bahwa setiap topik dari Lamrim itu adalah merupakan Instruksi, mengenai hal-hal apa saja yang seharusnya kita akumulasikan, dan hal hal apa yang seharusnya kita tanggalkan, hal-hal apa saja yang seharusnya setelah dipelajari, lalu direnungkan, dan kemudian dimeditasikan.

Keagungan ketiga dari Lamrim adalah, (3) Dapat dengan mudah memahami maksud dari Sang Penakluk. Ajaran Buddha, yang terdiri dari Sutra dan Tantra adalah sangat teramat luas. Dalam Tripitaka terjemahan Tibet saja ada 100 volume lebih, lalu dari volume tersebut meliputi berbagai macam topik-topik yang berbeda tingkat kesulitannya, namun dari apa yang kita pelajari, semua hal ini adalah merujuk pada tujuan utama yaitu membimbing murid menuju pencerahan. Adalah teramat sulit bagi kita untuk mempelajari keseluruhan Dharma Sang Buddha tersebut, bahkan untuk seorang murid yang amat cemerlang sekalipun, akan membutuhkan waktu yang lama, usaha yang besar, dan juga tantangan yang luar biasa besar untuk menguasainya.

Inilah yang menjadi tujuan dari metode Lamrim, untuk mempermudah diri kita untuk dapat secara cepat dan mudah untuk mengerti dari arti yang sebenarnya dari Tripitaka. Bagaimana ini mungkin? Guru Atisa telah mengelola seluruh ajaran Buddha yang sedemikian luasnya, menjadi suatu bentuk tahapan jalan untuk individu dalam tiga jenis praktisi. Beliau menjelaskan setiap tahapan jalan tersebut, kita sang murid dapat mempelajari penjelasannya, merenungkannya, dan kemudian merealisasikannya. Dengan cara ini, Tradisi Lamrim, dapat dikatakan mengumpulkan seluruh Ajaran Buddha, dan kemudian memeras intisari dari Ajaran Buddha tersebut dan menyusunnya menjadi sistem yang bertahap, mulai dari bagaimana kita seharusnya belajar Dharma, bertumpu kepada Guru, sampai ke pencapaian kebuddhaan.

Poin keempat dari Keagungan Ajaran Lamrim adalah, secara otomatis kita akan terhindar dari kesalahan besar (menolak Dharma). Kesalahan dari menolak Dharma adalah sangat berat, dan merupakan salah satu kesalahan yang paling berat. Apakah yang disebut menolak Dharma? Ini adalah keyakinan/kepercayaan bahwa beberapa Ajaran Buddha harus dipraktikkan, dan yang lainnya harus dijauhkan (tidak dipraktikkan). Tsongkhapa menjelaskan dalam Sarva-vaidalya-samgraha-sutra:

Manjushri, karma penghalang dari menolak Dharma yang suci adalah sangat halus. Manjushri, siapa pun yang menganggap satu bagian dari kata-kata yang diucapkan Tathagata adalah baik, dan bagian lain adalah buruk adalah menolak Dharma. Siapapun yang menolak Dharma, maka ia mencela Tathagata dan menjelekkan Sangha dengan melakukannya. Dengan mengatakan, “Ajaran ini sesuai, Ajaran itu tidak sesuai,” seseorang sudah menolak Dharma. Dengan mengatakan “Ini diajarkan untuk para Bodhisatva; yang itu diajarkan untuk Sravaka.”seseorang telah menolak Dharma. Dengan mengatakan, “Ini diajarkan untuk Pratyeka Buddha,” seseorang telah menolak Dharma. Dengan mengatakan, “Ini bukanlah latihan untuk Para Bodhisatva,” seseorang telah menolak Dharma.

Berdasarkan bait tersebut, jika kita menolak Dharma, maka secara tidak langsung kita telah menolak juga ketiga Ratna; Buddha, Dharma, dan Sangha. Di satu sisi, jika kita melihat pernyataan tersebut, benar adanya merupakan pembedaan tingkat latihan, namun di sisi lain itu adalah merupakan keberpihakan yang salah arah. Salah arah disini dikarenakan semua Ajaran yang berbeda tersebut seharusnya mendapatkan perhatian yang sama karena membimbing individu menuju pencerahan. Masalah berikutnya muncul ketika kita sudah salah arah, kita akan memiliki anggapan bahwa, yang ini lebih baik dari yang lain, keberpihakan kita memungkinkan kita jatuh kepada penolakan terhadap ajaran yang inferior.

Ketika seseorang memulai untuk belajar Dharma adalah sangat mudah untuk jatuh kepada pemikiran: “Ajaran ini superior, ajaran itu inferior. Yang ini lebih baik, yang itu lebih buruk. Yang ini Mahayana, aku seharusnya berpraktik Mahayana. Aku seharusnya berpraktik Hinayana.” Dengan mempelajari ini (metode Lamrim) ketika kita mengingat bahwa ini adalah suatu hal yang buruk, maka kita dapat menghindari untuk berpikir/berpendapat demikian. Seberapa besarkah karma buruk yang dihasilkan oleh menolak Dharma?

Sutra Raja Konsentrasi mengatakan, “Karma negatif dengan menghancurkan seluruh stupa di Jambudvipa tidak akan seberat karma negatif yang dihasilkan dari menolak Dharma. Dalam cara yang sama, bahkan karma dari membunuh Arahat yang sejumlah pasir di Sungai Gangga tidak akan seberat karma negatif dari menolak Dharma.” Karma negatif yang dihasilkan amat-teramat berat, terutama dikarenakan karma negatif dari menolak Dharma adalah semakin menjauhkan kita dari pencapaian kebuddhaan, dibandingkan kedua aksi karma buruk tersebut. Karma menghancurkan stupa atau membunuh Arahat suatu saat akan habis dan kita dapat berpraktik Dharma kembali. Namun dengan penolakan Dharma yang kuat, maka kita tidak akan pernah mencapai realisasi dari topik Dharma yang kita tolak (mengingat kita membutuhkan semua realisasi Dharma untuk mencapai kebuddhaan).

Lalu, bagaimana kah cara menghindarinya? Pertama-tama kita harus mengingat kedua Keagungan pertama dari metode Lamrim. Bahwa Keagungan karena tidak ada pertentangan di dalam semua Ajaran Sang Buddha, dan melihat semua Teks sebagai Instruksi pribadi. Ada terdapat analogi dari buku-buku Lamrim, mengenai hal ini yang dikaitkan dengan masakan. Ketika kita mempersiapkan suatu masakan yang lezat, maka kita membutuhkan bahan-bahan makanan tertentu: air, garam, bumbu-bumbu, beberapa jenis sayuran dan daging. Setiap bahan makanan tersebut berkontribusi terhadap rasa dan esensi dari makanan itu, kita tidak dapat meninggalkan bahkan satu jenis bahan makanan tersebut, atau rasanya akan berbeda! Dengan cara serupa, semua ajaran Buddha diperlukan untuk mencapai penerangan Sempurna, melalui praktik dari tradisi lamrim ini, kita akan mengerti keseluruhan teks dharma, apa artinya, tujuannya, dan bagaimana mereka melengkapi satu sama lain. Kita akan dapat melihat semua teks sebagai setara, jadi kita akan menghargainya, menghormatinya, dan memuliakannya sebagai metode untuk kita sendiri, untuk berlatih menuju pencerahan sempurna.