Artikel ditulis oleh Attha Surya Dharma, 09 Juli 2015
Mengapa kita harus memastikan bahwa sumber ajaran adalah otentik dan bermutu?
Kita harus memastikan terlebih dahulu, apa tujuan kita untuk mencari suatu sumber Dharma. Tujuan kita mencari Dharma adalah mencari obat yang dapat mengobati “penyakit” dari diri kita sendiri, yaitu Samsara. Dalam mencari Dharma bisa saja kita mencari referensi terhadap kata-kata Buddha di dalam sutra, namun kata-kata Buddha langsung yang terdapat di sutra terkadang terlalu terbuka untuk interpretasi masing-masing dan kita sulit melihat maksud dari Sang Buddha menjelaskan Dharma tersebut (dalam kaitannya bahwa semua kata-kata Buddha adalah instruksi pribadi untuk mencapai pencerahan). Secara alternatif, ada ulasan terhadap kata-kata Buddha yang disusun oleh para Guru besar, dalam hal ini Lamrim. Lamrim adalah Jalan bertahap menuju pencerahan. Jalan bertahap menuju pencerahan ini adalah buah karya dari Maha Guru besar dari India, yaitu Atisa Dipankara Srijnana.
Lamrim yang merupakan intisari dari seluruh ajaran Buddha ini, adalah hasil karya Ulasan dari Guru Atisha. Lamrim ditulis berdasarkan pengalaman dan realisasi Dharma beliau. Dalam tradisi Buddhis, penulis 'ulasan terhadap pemikiran Buddha' diharuskan memiliki tiga kualifikasi luar biasa. Pertama, seorang penulis adalah seorang ahli dalam lima cabang pembelajaran tradisional buddhisme: tata bahasa, dialektika, pengobatan, seni dan kerajinan tangan, dan filosofi religius. Yang kedua, seorang penulis telah menerima instruksi pribadi dari seorang guru spiritual dalam sebuah silsilah yang tak terputus dan dapat dirunut kembali sampai ke Buddha. Yang ketiga, seorang penulis telah menerima izin dari Yidam meditasinya. Penulis harus memiliki penglihatan langsung Yidam, seperti Avalokitesvara atau Tara, yang memberi izin untuk dia menulis Ulasan.
Penulis biasa tidak memerlukan ketiga kualitas luar biasa ini. Tiga kualitas ini hanya dibutuhkan ketika seseorang menuliskan sebuah buku yang menjelaskan tentang 'arti dari ajaran Buddha'. Faktanya, bahkan pengulas dari ajaran tidak harus memiliki ketiganya; bahkan jika mereka memiliki salah satu saja dari kualitas luar biasa ini mereka boleh untuk membuat suatu ulasan tentang ajaran Buddha. Guru Atisha memiliki ketiga-tiganya dari kualitas luar biasa ini. Ia sudah tentu memiliki kualifikasi yang superior sebagai pengulas Ajaran Buddha. Merujuk pada Instruksi Guru yang Berharga, berkenaan dengan Keagungan Sumber Ajaran (Guru yang menjadi sumber ajaran), dibahas sebagai berikut:
Pembahasan Riwayat Atisha sebagai pembahasan; Keagungan Sumber Ajaran, disajikan untuk menunjukkan sumber dharma yang terpercaya.
- Bagaimana Atisha dilahirkan dalam sebuah keluarga terhormat
- Bagaimana Atisha memperoleh pengetahuan dan kualitas dalam kehidupan ini
- Bagaimana Atisha memperoleh kualitas baik dengan mempelajari banyak teks
- Bagaimana Atisha memperoleh kualitas baik dengan melaksanakan praktek yang sesuai
- Bagaimana Atisha berkarya
- Berkarya di India
- Berkarya di Tibet
Tujuan dari mempelajari Biografi Guru sesuai dengan kerangka di atas adalah untuk mengembangkan rasa hormat terhadap Guru sebagai sumber ajaran. Mengapa kita butuh rasa hormat terhadap Guru sebagai sumber ajaran? Apakah Guru tersebut butuh dihormati? Bila kita cermati di sini, bukanlah Guru Atisha yang membutuhkan hormat dari kita, namun kita sendirilah yang memang seharusnya membangkitkan rasa hormat terhadap beliau. Mengapa demikian? Sebagai contoh, ada sosok seorang dosen yang kita kagumi dan kita yakini kualitasnya. Maka kepadanya kita akan membuka mata kita lebar-lebar, memasang telinga kita sebaik-baiknya, dan mempersiapkan batin dan jasmani kita ketika mendengarkan kuliahnya, hal ini akan membuat penyerapan terhadap materi yang diberikan menjadi jauh lebih besar. Hal yang sama apabila kita dapat mengembangkan rasa hormat ini terhadap Yang Mulia Atisha, maka pencapaian Dharma Lamrim ini akan semakin besar sebanding dengan rasa hormat kita terhadap beliau. Sebagai penjelasan dari kerangka ini, maka dimulai dengan menunjukkan Bagaimana Atisa dilahirkan dalam sebuah keluarga terhormat.
Yang Mulia Atisha lahir di kota besar di Zahor, wilayah bagian timur India yang dikenal sebagai Bengal, Vikramapura. Ayah dari Atisha adalah Raja Kalyanasri dan istrinya Sri Prabhavati. Kekayaan dan kejayaan dari ayah Atisha bisa disandingkan dengan Raja Tong Khun dari China.
Pangeran merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, Atisha diberi nama Candragarbha. Pangeran yang berusia 18 bulan ketika itu, bepergian ke Caitya dengan Ayahnya, Pangeran muda bertanya, “Siapakah orang-orang yang kerumunan ini?”; Yang kemudian dijawab oleh ayahnya “Mereka adalah Rakyatmu.” Melihat kerumunan banyak orang, Pangeran muda melihat mereka dengan welas asih, Ketika orang tua pangeran dan orang-orang berdoa tentang umur panjang, kesehatan, kekayaan yang berlimpah serta kebebasan dari alam rendah dan pencapaian alam-alam tinggi, Bodhisattva memanjatkan doa ini:
"Setelah mendapatkan tubuh unggul dengan kebebasan dan keberuntungan
Dan bertemu Triratna dengan semua indra yang berfungsi baik,
Saya berpegang pada Triratna selamanya dan dengan penuh hormat di atas kepalaku.
Semoga mereka memberiku perlindungan sejak hari ini dan seterusnya.
Selamanya tak terbelenggu oleh keadaan perumah tangga,
Semoga saya juga memuji Triratna yang berharga tanpa kesombongan
Semoga saya menemukan kekayaan Dharma di dalam Sangha.
Semoga saya juga memuji Triratna yang berharga tanpa kesombongan.
Dan memandang semua makhluk dengan welas asih”.
Pangeran muda telah memperlihatkan kemampuan semenjak dari usia dini, berikut adalah penjelasan, Bagaimana Atisha memperoleh pengetahuan dengan mempelajari banyak teks:
Ketika pangeran berusia tiga tahun,
Beliau telah menguasai astrologi, bahasa, dan tata bahasa.
Ketika pangeran berusia enam tahun,
Beliau dapat membedakan agama dalam dan luar.
Ketika Atisha berusia 15 tahun, beliau belajar Nyaya-bindu-prakarana, teks tentang logika satu dari 7 risalah oleh Dharmakriti (ahli logika India).
Ketika usianya menginjak 21 tahun, beliau telah menguasai enam-puluh-empat keahlian. Keahlian ini adalah keahlian duniawi, pengetahuan tubuh, dan kekuatan luar biasa. Yang paling penting dari nya adalah lima ilmu pengetahuan;
Ilmu pengetahuan akan bahasa
Ilmu pengetahuan tentang logika
Ilmu pengetahuan tentang teknologi
Ilmu pengetahuan tentang pengobatan
Pengetahuan dan perenungan tentang Buddhisme
Guru Atisha juga terlatih baik sutra maupun tantra, Atisha berguru pada Guru Tantra Rahulagupta. Sampai dengan usia 29 tahun, Guru Atisa berguru pada banyak guru Tantra yang mencapai pencapaian spiritual yang tinggi (siddhi), serta mendapatkan banyak Inisiasi Tantra.
Pada ketika itu juga Guru Rahulagupta menganjurkan Atisa untuk mengambil Sila Biksu. Lalu Sri Heruka, juga Arya Maitreya muncul untuk mendesaknya menjadi biksu.
Pada usia 29 tahun, Atisa ditahbiskan penuh dari silsilah Mahasamghika oleh Upadahyaya Silaraksita
Sampai usia 31 tahun Atisha mempelajari Paramitayana, kendaraan penyempurnaan, dengan pendekatan analisa dan dialektikal (berkenaan dengan diskusi logika dari suatu ide atau pendapat). Ia mempelajari kedua Tipitaka level tinggi (Abhidharma), yaitu kitab dari tradisi Mahayana, yang termasuk di dalamnya ada Yogacara/Cittramaitri dan Madhyamika; juga kitab dari tradisi Hinayana, Vaibhasika dan Sauntantrika. Secara khusus, beliau mendalami Mahavibhasa, suatu yang besar, tulisan lengkap dan menyeluruh yang menyusun secara sistematis Abhidharma. Karya besar dari Arahat Suryagupta, atau dikenal juga dengan Dharmapala, yang memiliki 800 bab, beliau mempelajari teks ini selama 12 tahun.
Diwarnai berbagai pertanda dari Gurunya, Rahulagupta sampai Tara, untuk mencari ajaran tentang Batin pencerahan, Guru Atisha datang ke Indonesia untuk mendapatkan ajaran ini dari Guru Svarnadvipa di Sriwijaya. Selama 12 Tahun, Guru Atisha mendengarkan, merenungkan, dan memeditasikan instruksi lengkap dari Guru Serlingpa. Salah Satu yang paling penting adalah ajaran 'tersembunyi' tentang Sutra Kesempurnaan Kebijaksanaan, sebuah instruksi yang pertama kali diturunkan kepada Arya Asanga oleh Buddha Maitreya, Yang lainnya adalah latihan batin 'Menyetarakan dan Menukar Diri dengan Orang Lain', pertama kali diajarkan oleh Shantideva setelah beliau mendengarnya dari Arya Manjushri.
Demikian risalah singkat tentang pengetahuan yang didapatkan oleh beliau selama kehidupan ini, dari hasil belajar beliau, beliau adalah ahli dalam keempat sekolah filosofis buddhis, dan ahli dalam berbagai teks, sutra dan tantra.
Selanjutnya kita akan mengulas bagaimana beliau memperoleh kualitas bajik realisasi dengan mempraktekan dharma dengan baik. Semua praktik, realisasi dan kualitas internal terdapat pada tiga latihan, yaitu: latihan dalam sila, latihan dalam konsentrasi, dan latihan dalam kebijaksanaan. Berikut penjelasan bagaimana Guru Atisa unggul dalam ketiga hal tersebut:
Guru Atisha memiliki Latihan Sila
Latihan Sila sering kali dipuja dalam sutra sebagai basis dari berbagai kualitas bajik seseorang. dalam kata lain, Sila merupakan pondasi dari latihan konsentrasi dan latihan kebijaksanaan, tanpa adanya latihan sila yang murni, maka mustahil untuk memperoleh hasil dalam latihan konsentrasi dan latihan kebijaksanaan. Dalam bait-bait pujian yang disusun oleh muridnya Nagtso Lotsawa, beliau memiliki latihan murni dalam tiga jenis sila, yaitu sila Pratimoksa, sila Bodhisattva, dan sila Tantra (Vajrayana):
"Setelah memasuki pintu dari kendaraan sravaka,
Engkau menjaga sila-Mu bak seekor yak yang menjaga ekornya.
Aku memberi hormat kepada tetua yang memegang vinaya,
Bhiksu Agung memiliki Monastik (sila ke-biksu-an) kemurnian yang Jaya
Setelah memasuki pintu dari kendaraan penyempurnaan [paramitta]
Engkau memiliki pikiran yang agung dan
Dengan kekuatan Boddhicitta Engkau tidak meninggalkan siapapun.
Aku memberi hormat kepada Yang memiliki kebijaksanaan dan welas asih agung
Setelah memasuki pintu kendaraan Vajrayana
Kau melihat dirimu sendiri sebagai seorang yidam, kau memiliki batin vajra.
Raja dari Yoga, Avaduthipa,
Aku memberi hormat kepada yang mempraktikkan latihan rahasia."
Dari bait ini dikatakan bahwa Yang Mulia Atisha tidak hanya memiliki ketiga jenis Sila, namun unggul dalam praktik-praktik Sila tersebut. Beliau menjaga Sila-Nya bagaikan seekor yak yang menjaga ekornya. Yak adalah seekor binatang di tibet yang sangat mengagungkan ekornya, ketika mereka ekornya tersangkut di semak berduri misalnya, mereka tidak akan bergerak sedikit pun, dikarenakan mereka tidak mau ekornya kehilangan bahkan sehelai bulu sekalipun. Secara khusus Nagtso memuji Atisha yang tidak pernah melampaui batas dari sila yang beliau pegang:
"Dengan memiliki kesadaran batin (mindfulness) dan kewaspadaan introspektif
Engkau tidak melakukan pelanggaran sila, bahkan dalam pikiranmu
Dengan kesadaran (conscientiousness), kesadaran batin (mindfulness), dan tanpa ketidakjujuran
Engkau tidak ternodai oleh pelanggaran-pelanggaran sila."
Bait ini merujuk kepada praktik Yang Mulia Atisha yang selalu melindungi Sila Pratimoksa, Sila Bodhisattva, serta Sila Tantra beliau dengan murni, bahkan melampaui bagaimana sikap kita melindungi mata kita sendiri. Beliau tidak pernah melakukan aksi yang salah yang dapat melanggar silanya karena beliau memiliki faktor mental kesadaran batin dan introspektif dalam batinnya. Terjaga oleh kualitas batin tersebut, beliau tidak melakukan pelanggaran baik itu dalam bentuk perbuatan, ucapan, maupun pikiran. Dan apabila beliau ternyata melanggar salah satu bahkan sila paling minor sekalipun dikarenakan suatu hal, beliau akan dengan sesegera mungkin melakukan praktek purifikasi terhadap pelanggaran tersebut.
Guru Atisha memiliki Latihan Konsentrasi
Guru Atisha memiliki dua latihan sempurna terhadap Meditasi Konsentrasi, baik yang biasa (Samatha atau konsentrasi pada satu titik) dan juga samadhi luar biasa (Meditasi Stabilisasi dari suatu praktik Tantra (Tahap Pembangkitan dan Tahap Penyelesaian).
Guru Atisha memiliki Latihan Kebijaksanaan
Pada bagian ini juga terdapat aspek biasa dan luar biasa dari latihan Kebijaksanaan. Atisha telah mencapai Latihan Kebijaksanaan yang biasa yaitu adalah penyatuan dari praktik Samatha (Ketenangan Batin) dan Vipasyana (Pandangan Mendalam). Realisasi ini adalah biasa untuk kedua Sutra dan Tantra, dan juga untuk kedua Hinayana maupun Mahayana. Atisha juga mencapai latihan luar biasa dalam kebijaksanaan yang merupakan Samadhi yang spesial dari tahap penyelesaian dalam Tantra. Ini merupakan praktik Tantra internal yang mengarahkan seseorang untuk kepada realisasi akhir dari penyatuan kebahagiaan dan kesunyataan. Nagtso Lotsawa juga mengatakan, “Berkenaan dengan kitab dari kendaraan mantra rahasia (Tantra), telah jelas bahwa beliau telah mencapai tahap Marga Persiapan (dari 5 marga yaitu: Marga Pengumpulan, Marga Persiapan, Marga Penglihatan, Marga Meditasi dan Marga Penyempurnaan)”. Berdasarkan sistem jalan Tantra, Atisha pertama mencapai Marga Persiapan, lalu beliau mencapai juga marga penglihatan tantra. Dikatakan lebih jauh, setelah mencapai tahap ini, seseorang tidak akan perlu lagi lahir dikarenakan oleh karma dan klesha (gangguan mental: Lobha-keserakahan, Dosa-kebencian, Moha-kebodohan). Pada saat itu juga jalan menuju pembebasan telah lahir dalam batin orang tersebut, dan ia pasti akan mencapai Kebuddhaan dalam kehidupan tersebut.
Selanjutnya kita memasuki poin yang ketiga dari keagungan sumber ajaran, yaitu, Bagaimana setelah mencapai kualitas tersebut, Atisa berkarya. Poin ini terdapat dua bagian utama, yaitu Bagaimana beliau berkarya di India, dan Bagaimana beliau Berkarya di Tibet:
Bagaimana Atisa berkarya di India
Setelah kembali ke India tengah, beliau memenangkan tiga debat yang berbeda melawan pengikut ajaran non-Buddhis, mengatasi penalaran salah mereka dan mengubah kepercayaan mereka menjadi Buddhis.
Guru Atisa sendiri mengikuti tradisi Mahasamghika, meskipun demikian Beliau juga benar-benar memahami semua aliran. Sebagai contoh, empat sekolah akar Hinayana: Sarvastivada, Mahasamgika, Staviravada, dan Sammitiya, 18 sekolah filosofi Hinayana berasal dari empat akar ini. Dan Guru Atisa ahli dalam segala tata cara dan interpretasi dalam hal vinaya.
Bagaimana Atisha Berkarya di Tibet
Ulasan mengenai aktivitas Atisa di Tibet akan dijelaskan menjadi 2 bagian bagaimana beliau memajukan ajaran Buddhis di Tibet:
Bagaimana beliau menghilangkan konsepsi salah terhadap Dharma dan membangun tradisi
Agar kita dapat mengerti bagaimana Guru Atisha menghilangkan konsepsi salah terhadap Dharma dan membangun tradisi, kita harus terlebih dahulu memahami sedikit banyak sejarah Tibet dan kondisi Buddhisme di Tibet sewaktu Atisha diundang ke Tibet.
Penyebaran agama Buddha di Tibet pertama kali mulai pada abad ke 7, lalu berakhir pada tahun sekitar 838 setelah masehi, di mana pada saat itu Raja anti-Buddhis Langdarma naik tahta dengan membunuh kakaknya Raja yang berbakti pada Dharma, Raja Ralpachen. Langdarma merupakan seorang penasihat dari Agama Bon, yang mendominasi Tibet sebelum hadirnya Buddhis. Sebagai Raja ia menghancurkan biara, tempat ibadah dan Kuil Buddhis di Tibet tengah. Langdarma hanya memerintah selama lima tahun, dikarenakan ia dibunuh oleh Lhalung Palgyi Dorje.
Meskipun hanya sebentar memerintah, namun periode hitam dalam sejarah perkembangan Buddha Dharma di Tibet berlangsung selama hampir satu abad setelah Langdarma turun tahta. Praktik Tantra yang tidak murni/rusak diusung oleh orang-orang biasa yang bahkan tidak memiliki pemahaman sama sekali terhadapnya. Berdasarkan hanya mengingat beberapa potong teks, dan juga mendengar beberapa ajaran, mereka mengklaim bahwa mereka ada Guru Tantra. Bagaimana pun, dikarenakan mereka kurang sama sekali pengertian dari Praktik Tantra yang sebenarnya, mereka menyebarkan bentuk praktek yang merosot yang menekankan terhadap elemen magis dan praktek seksual.
Sebagai contoh mereka mengartikan secara salah konsep penyatuan dan pelepasan dalam Praktek Tantra, tanpa adanya pengertian terhadap apa yang mereka lakukan dalam praktik merosot ini mereka melakukan praktek seksual. Mereka tidak memiliki realisasi yang cukup yang akan membuat kegiatan yang mereka lakukan ini menjadi sebuah praktek dalam menapak jalan pencerahan. Walaupun mereka pikir mereka sedang berpraktek Tantra, namun pada kenyataannya, yang mereka lakukan hanyalah kegiatan seksual biasa untuk mendapatkan kenikmatan seksual, tidak sama sekali mengandung arti secara spiritual.
Aspek lainnya yaitu banyaknya praktek mengorbankan hewan dan manusia sebagai persembahan darah kepada dewa dewi, dengan pemikiran si korban ini terbebaskan setelah dikorbankan.
Kondisi dimana absennya Silsilah Buddhis langsung yang murni, praktik merosot ini kerap kali dilakukan dan mendominasi Tibet. Sewaktu tengah pertama abad ke sebelas seorang Raja dari Tibet Barat bernama Lhalama Yeshe O dan keponakannya Jangchub O menyadari praktek yang rusak di negaranya. Mereka ingin membangkitkan kembali Ajaran Buddha yang murni ke Tibet. Dan setelah menyelidiki bahwa di Magadha (India) yang paling berkualifikasi untuk melakukan ini adalah Guru Atisha, dan mereka ingin mengundangnya ke Tibet.
Utusan pertama yang dikirim oleh Raja adalah Gya Tsondru Sengge. Dia berangkat dengan jumlah emas yang banyak, namun tidak dapat mengundang Guru Atisha. Berulang kali juga utusan yang dikirimkan dengan jumlah Emas yang banyak, namun menemui kebuntuan. Pada waktu itu mengundang dengan emas adalah budaya yang menunjukkan ketulusan dalam mengundang seseorang. Dan pada faktanya, Lhalama Yeshe O mengorbankan banyak emas dan dirinya sendiri untuk memperoleh emas yang diperuntukkan mengundang Guru Atisha, ini adalah cerita yang sangat terkenal dan sangat menyentuh hati, yang dapat ditemukan lebih detail pada buku Pembebasan di Tangan Kita (Liberation on Our Hands).
Setelahnya Keponakan Raja, Jangchub O memilih Nagtso Lotsawa yang pada akhirnya dapat mengatasi segala halangan dan berhasil mengundang Guru Atisha ke Tibet. Sesampainya Guru Atisa ke Tibet, Jangchub O menyambutnya dan memohon pengajaran Dharma. Jangchub O menceritakan kondisi Buddha Dharma di Tibet yang terpuruk, dan bagaimana Buddhisme di Tibet telah merosot ke titik yang paling rendah. Mata raja ini dipenuhi air mata dan kemudian ia membuat permohonan berikut:
“Tuan yang berwelas asih, tidak perlu mengajar kami,
murid-murid Tibetmu yang tidak patuh, Dharma yang sangat mendalam dan
mengerikan, Saya memohon kepadamu untuk membimbing kami dengan instruksi
yang mengungkapkan sebab dan akibat karma. Khususnya, Oh Yang Mulia,
saya memohon kepadamu untuk menjaga kami dalam welas asihmu dengan
mengajarkan Dharma yang Anda sendiri telah kuasai, sesuatu yang
mengandung semua ajaran Sutra dan Tantra dari Sang Penakluk beserta
dengan ulasannya masing-masing. Lagi pula, ajaran itu harus mengandung
Jalan yang lengkap dan tanpa kesalahan, mudah dipraktikan, dan
bermanfaat bagi semua orang Tibet.”
Permohonan ini sangat menyenangkan Guru Atisha pada saat itu, dan menjawab permohonan tersebut Guru Atisha menyusun Pelita Sang Jalan Menuju Pencerahan, sebuah karya yang meringkas ke dalam tiga halaman makna inti dari semua Sutra, Tantra, dan ulasan-ulasannya. Dewasa ini kita dapat dengan mudah mendapatkan teks Pelita Sang Jalan ini, namun tidak demikian halnya pada Tibet waktu jaman itu teks ini amat sangat berharga dan menjadi barang yang langka. Banyak orang rela bersusah payah demi mendapatkan ajaran ini.
Bagaimana beliau menghilangkan kekuatan yang menghancurkan prilaku murni dan tiga jenis latihan
Mengingat kondisi Tibet sebelum kedatangan Yang Mulia Atisa pada poin (a), Atisa kemudian memberikan instruksi Lamrim, kekuatan dari Ajaran mulia nan murni ini menghentikan praktik-praktik merosot di Tibet. Kekuatan kebenaran yang dikumandangkan oleh Makhluk Suci ini mengakibatkan para penipu yang penuh kepura-puraan menghilang. Atisha menyebarkan praktek yang murni, tanpa kesalahan di seluruh penjuru Tibet. Beliau mengajarkan bukan hanya metode Lamrim, namun Beliau juga menyebarkan ajaran yang menjadi pondasi silsilah cendekiawan dan praktisi Kadampa. Dengan cara ini ajaran Atisha menyebar ke mana-mana dan kebaikan hatinya mempengaruhi semua orang yang hidup di tanah bersalju, Tibet.
Demikian ulasan dari ketiga poin dari keagungan sumber ajaran. Dengan mempelajari dan merenungkan hal tersebut, adalah penting bagi kita dapat memetik hal hal bajik yang dapat menginspirasikan dan memotivasi kita untuk belajar Dharma. Dari sini juga dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas dari Guru Atisha dalam hal membuat ulasan terhadap Dharma telah dijelaskan dengan mengambarkan kualitas yang beliau miliki.
~selesai~
NB:
Yidam: Meditational Deity, bentuk lain dari tubuh Buddha, yang muncul untuk mengajar manusia. Bentuk ini ada dikarenakan halangan mental dari manusia yang tidak dapat menerima ajaran dari Pikiran kemahatahuan Buddha. Berhubung dengan berbedanya kualitas batin seseorang, dan juga memiliki kecenderungan dan faktor yang berbeda-beda pula, maka bermacam-macam Yidam muncul. Unsur penyusun Yidam adalah kebijaksanaan unggul dari kenikmatan dan kesunyataan, mereka bukan merupakan suatu kepribadian dengan diri [aku] yang berdiri sendiri.