Tuesday, August 25, 2015

Meditasi itu….

Artikel ini ditulis pada tanggal 11 Agustus 2015

Sesekalinya berada di tengah pusat perbelanjaan, ada satu hal yang tertangkap cukup sering, yaitu tas gym. Kebetulan pada tas tersebut terdapat nama gym yang bersangkutan, sehingga saya bisa menyimpulkan ya, ini tas gym, bukan sekedar tas pada umumnya. Karena penasaran lalu mencari tahu lebih lanjut tentang gym dan fitness dari kenalan yang kebetulan juga punya tas yang sama. Jadi kita membayar sejumlah tertentu uang kepada gym, lalu kita menjalani serangkaian latihan, dipandu instruktur, lalu pakai alat A, B dan C, lalu selesai, lelah, pegal, pulang, lalu di jam dan hari yang lain melanjutkan latihan. Keluarannya suatu saat di masa mendatang adalah mungkin lebih kurus, lebih berisi, tubuh lebih estetis, mungkin. Sederhananya, ada niatan ‘tuk menjalani latihan, ada suatu disiplin, ada uang, waktu, dan tenaga yang dikerahkan, sehingga ada keluaran yang diperoleh dari upaya.

Tadi itu bicara olah fisik. Untuk olah mental, meskipun tidak ada gym khusus mental atau setidaknya yang terang-terangan deklarasi, upaya untuk mengolah mental juga cukup banyak. Ini dapat dilihat dari banyaknya berbagai buku bergenre self-help, berjudul ‘rahasia’, sup ayam, 4 kebiasaan, 6 kebiasaan, mungkin kelak 100 kebiasaan seiring waktu. Juga banyak seminar motivasi, pelatihan-pelatihan memprogram pikiran (bukan hipnotis), dan sebagainya. Secara garis besar polanya mirip dengan fitness, bayar uang sejumlah tertentu, dipandu, ada tahapan, harus ini dan itu, dan seterusnya. Sang Buddha juga sejak 2500-an tahun lalu juga sebenarnya sudah meresepkan hal yang sama, bedanya adalah tanpa biaya. Mungkin karena kalah dalam iklan dan kampanye, Ajaran Buddha dan Guru Besar Buddhis  tentang meditasi tidak menjadi best seller atau sesuatu yang happening di korporat.

Meski beda secara biaya, secara pamor, metode, dan nilai, antara meditasi dan seminar maupun training motivasi dan sebagainya itu, tetapi mereka melihat kesamaan bahwa pikiran dan batin adalah aset yang harus diolah. Tapi kenapa saya memilih Meditasi Buddhis di antara semua pendekatan tersebut, adalah karena jurus olah batin ala Buddha lah yang menyelesaikan masalah tanpa masalah yang berfungsi juga untuk kehidupan mendatang; selain juga karena saya seorang Buddhis atau paling tidak beratribut Buddhis maka saya berpihak, esprit de corps, dan seminimalnya karena saya diminta menulis artikel tentang Meditasi Buddhis dan ditagih.

Meditasi Buddhis juga seperti halnya fitness memiliki suatu disiplin tertentu, menjalankannya secara serampangan akan menimbulkan efek samping kebosanan, kapok, atau malah kebal atau bebal terhadap efek meditasi alias batin membatu tak bisa berubah; kita yang berumur 30 tahun akan tetap memiliki batin kita yang 10 tahun, semacam itu kurang lebih. Sesi meditasi yang ideal dijelaskan dalam kitab suci adalah 4 sesi, subuh, pagi, siang, dan malam sebelum tengah malam. Durasinya, Yang Mulia Kamalasila menjelaskan, adalah satu jam, atau setengahnya, atau lebih sedikit lagi selama kita masih bersemangat; sehingga ketika berhenti dari meditasi kita berhenti dengan impresi yang baik terhadap meditasi, bukan sebaliknya, muak dan di kemudian hari melihat bantalan meditasi sebagai momok seram.

Bagaimana bermeditasi diajarkan dalam Gomchen Lamrim atau karya Lamrim lainnya adalah objek meditasi harus ditetapkan terlebih dahulu, begitu juga urutannya, tidak boleh ada penambahan atau pengurangan, dan seterusnya. Merujuk daripada instruksi ini, maka sebelum bermeditasi, kita harus terlebih dahulu kenal dengan objek meditasi, dan setidaknya punya familiaritas tertentu sehingga tidak melupakannya di tengah meditasi kita. Dengan demikian, ini menjelaskan mengapa studi-kontemplasi-meditasi merupakan urutan penting dalam menjalankan meditasi. Kebutuhan studi sangat mendesak karena begitu banyak pilihan objek meditasi yang masing-masing punya TUPOKSI-nya masing-masing untuk mengatasi kilesha tertentu agar mencapai tujuan. Untuk semakin memperkuat lagi perlu dan mendesaknya belajar demi mendukung meditasi, mengutip nasehat Buddha dalam Sutra Sadhnirmochana:
“… Para Bodhisattva ini harus mendengarkan Ajaran-ajaran ini dengan benar, mengingat isinya, melatih pelafalan lisan, dan menganalisanya secara seksama. Dengan pemahaman sempurna, mereka harus pergi ke tempat terpencil seorang diri dan merenungkan Ajaran-ajaran ini serta memusatkan perhatian pada Ajaran tersebut secara terus-menerus…”

Jika seorang Bodhisattva saja juga harus belajar, apalagi saya, dan mereka, dan anda yang seperti saya? Maka sungguh luas dan mendalam nasehat Yang Mulia Suhu Bhadraruci, Butuh Banyak Belajar Biar Bisa Bantu Banyak Orang (B7O).

Berikutnya, yang merupakan tombol start untuk meditasi adalah niat (‘tuk bermeditasi). Untuk menumbuhkan niat bermeditasi, mengetahui manfaat dari meditasi adalah penting, dan agar manfaat tersebut bisa relevan maka kita memerlukan ketertarikan antara batin dan kehidupan kita. Alexander Berzin menjelaskan bahwa, “kita bukan seorang korban dari apapun yang dilemparkan oleh kehidupan kita. sebaliknya kita berperan sentral pada apa dan bagaimana kita mengalami kehidupan kita… untuk melakukanya kita harus tahu bagaimana cara kerja batin kita.” Begitu kita bisa menempatkan batin posisi awalnya yang adalah pusat kehidupan kita, barulah manfaat meditasi bisa relevan bagi kita. Tanpanya, bisa jadi meditasi menjadi sekedar olahraga, olahraga diam dalam hening sambil bersila.

Akhir kata, seperti halnya ketika fitness, anda juga butuh seorang instruktur, sama halnya dan apalagi dalam meditasi juga butuh pemandu. Makanya Lamrim mengatakan guru spiritual adalah Akar dari Sang Jalan.
Sarva Manggalam [tk]

1 comment:

  1. Hallo KCI, boleh rekomendasi tempat utk belajar meditasi secara intensif?

    ReplyDelete