Artikel ditulis oleh Attha Surya Dharma, 23 Juli 2015
Dharma ini lebih baik, yang ini kurang baik. Dharma yang ini yang harusnya aku praktikkan, Dharma yang itu aku tidak dapat terima dengan akalku. Praktik Dharma ini superior, aku harus menjalankan yang ini saja, dan tidak membuang waktu lebih banyak terhadap praktik yang lain (yang lebih inferior). Ketika kita tidak dengan cara yang baik mengerti suatu Dharma, akan sangat mudah muncul pemikiran-pemikiran demikian, yang membuat Dharma yang kita pelajari menjadi percuma (malah akan berakibat negatif) karena kesalahan kita sendiri membangkitkan pikiran yang tidak bajik. Namun dengan metode Lamrim, Jalan Bertahap Menuju Pencerahan, kita akan dapat mengerti bagaimana keseluruhan Teks Dharma ini berkaitan satu sama lainnya dalam kesatuan sistem yang koheren (logis dan masuk akal).
Apakah yang disebut dengan Ajaran? Disini, Ajaran yaitu Dharma dalam bahasa sansekerta, atau Dhamma dalam bahasa Pali, atau Cho dalam bahasa Tibet, merujuk kepada teks akar dari Instruksi Pelita Sang Jalan menuju Pencerahan oleh Atisha. Menurut sumber Teks Instruksi Guru Yang Berharga, ada empat bagian untuk menjelaskan kualitas unggul dari ajaran Lamrim. Dengan belajar dan mempraktekkan Lamrim:
- Kita akan memiliki kemampuan untuk memahami bahwa semua Ajaran Buddha bebas dari pertentangan
- Semua literatur akan terlihat sebagai Instruksi untuk berlatih/berpraktik Dharma
- Kita dapat dengan mudah mengerti maksud dari Sang Penakluk, dalam artian kita dapat mencapai tahapan jalan karena luasnya Dharma Sang Buddha telah diorganisasikan dalam satu sistem yang koheren
- Dengan secara alami kita akan terbebas dari kesalahan besar mengabaikan/menolak dharma
Mari kita memulai dengan membahas poin yang pertama, bahwa (1) tidak ada pertentangan di seluruh Ajaran Buddha. Bagian ini amat penting dan sering kita jumpai di sekitar kita, bahwa yang mempercayai Tipitaka pali, menyatakan bahwa Tripitaka sanskrit tidak valid, juga demikian sebaliknya. Hal ini kerap terjadi jika kita gagal melihat Ajaran Buddha adalah tanpa pertentangan. Bila kita mempelajari asal usul Ajaran Buddha, dan darimana suatu Tripitaka itu disusun dan ditulis oleh Guru-guru masa lampau, kita akan mengenali bahwa sebenarnya Sang Buddha mengajarkan Dharma kepada murid-muridnya atas dasar kapasitas seorang murid, bukan berdasarkan apa yang Beliau ketahui. Sang Buddha amat mahir dalam mengajar, Beliau dapat mengajar dalam satu sesi Ajaran Dharma kepada berbagai jenis kapasitas manusia. Bila kita mengingat kualitas ucapan Sang Buddha, bahwa Sang Buddha dapat menjawab berbagai pertanyaan berbeda dari semua makhluk di alam semesta dalam satu waktu yang sama dengan pernyataan tunggal yang akan didengar oleh setiap makhluk tersebut dalam bahasa mereka masing-masing dan dengan cara yang sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing (Liberation In Our Hand Jilid 2, hal 293).
Sang Buddha memutarkan tiga roda Dharma selama hidupnya, yang dari situ dapat kita golongkan menjadi tiga kendaraan, yaitu Hinayana, Mahayana, dan Tantrayana. Mereka dapat saja terlihat tidak konsisten bila kita melihat hanya dipermukaannya, dikarenakan Buddha mengajar hal yang berbeda dalam waktu yang berbeda tergantung pada apa yang cocok pada seorang murid, namun karena semua Ajaran yang berbeda ini adalah tujuannya untuk mencapai ke kebuddhaan yang lengkap dan sempurna, maka tidak ada kontradiksi diantara Ajaran Buddha ini. Je Rinpoche juga menyebutkan dalam Risalah Agung Tahapan Jalan Mantram, “Dari berbagai arah banyak sungai yang mengalir ke lautan luas”.
Cara untuk memahami bahwa semua Ajaran Buddha adalah bebas dari pertentangan adalah dengan bertumpu kepada Guru yang Suci untuk mendapatkan pemahaman yang kokoh bahwa semua kitab adalah sebab untuk seseorang mencapai pencerahan, baik itu ajaran Hinayana, Mahayana, ataupun Vajrayana. Setelah hal ini, tidak akan terlihat mana perbedaan diantara ketiganya, kita akan mengembangkan rasa hormat yang setara kepada mereka semua. Dengan cara ini, juga kita dapat memulai memilih yang mana yang sesuai bagi kita untuk dipraktikkan. Tentu saja, banyak diantaranya yang diri kita belum siap untuk mempraktekkan suatu Instruksi, namun terhadap Instruksi yang kita belum mampu ini, adalah hal yang baik jika kita tidak bersikap “menolak/meninggalkan” Instruksi Dharma tersebut sama sekali, melainkan kita dapat berpikir “Walaupun saat ini saya belum dapat melakukan (Instruksi tersebut), saya berdoa suatu waktu nanti saya dapat melaksanakan praktik tersebut dan meninggalkan hal-hal yang negatif, dan semoga hal ini terjadi sesegera mungkin” hal ini akan menjadi sebab (sebagai pengakumulasian kebajikan dan menghancurkan penghalang melalui praktik pengakuan dan purifikasi) untuk mendapatkan kualitas batin yang sesuai untuk mempraktikkan hal-hal yang belum dapat kita praktikan sebelumnya.
Hal kedua yang menjadi keunggulan metode Lamrim ini adalah, (2) dapat melihat Ajaran sebagai Instruksi pribadi. Mengapa Instruksi pribadi? Mari kita ambil contoh, bahwa Dharma ini adalah sebagai obat. Obat dari dokter (yaitu Sang Buddha) yang dapat mengobati penyakit (kilesha) dari seseorang, agar seseorang dapat mencapai kebahagiaan dan lepas dari penderitaan. Serupa dengan ketika kita sakit demam, sang dokter akan menginstruksikan kita untuk meminum obat sesuai anjuran, dengan berbagai macam metode yang harus dilakukan dan harus di pantang (semisal tidak boleh minum es dan harus istirahat total). Demikian juga yang seharusnya terjadi, Dharma tersebut haruslah berupa Instruksi yang jelas dan tepat mengenai apa saja yang harus kita lakukan untuk melatih batin kita agar kita dapat mencapai kebahagiaan dan bebas dari penyakit.
Secara umum, kedamaian nirvana, dan juga segala bentuk kebahagiaan dan keuntungan sementara hanya dapat ditemukan dalam Kitab Sang Buddha. Hanya ketika seseorang bebas dari segala kebingungan, dapat menunjukkan kepada kita yang mana yang seharusnya dipraktikkan dan mana yang seharusnya ditinggalkan. Kumpulan dari Instruksi-instruksi Buddha ini, terdapat pada Sutra dan Tantra. Namun seiring dengan berlalu waktu, dan mulai merosotnya kebajikan manusia (dibandingkan dengan waktu Sang Buddha masih hidup dan mengajar), maka mulai banyak murid yang tidak dapat melihat kata-kata Buddha di dalam kitab suci ini sebagai Instruksi. Maka dari itulah Guru-Guru Agung seperti Guru Atisha, Guru Je Tsongkhapa dan lainnya, menyusun ulasan dari kata-kata Buddha tersebut untuk mengklarifikasi maksud dari Sang Buddha dan mentransmisikan Instruksi pribadi kepada murid-muridnya. Tanpa ulasan tersebut kita tidak akan dapat (amat sangat sulit) untuk mengerti secara akurat ajaran Buddha yang amat luas. Jika kita merasa setelah mempelajari sutra dan ulasan namun menemukan bahwa yang kita pelajari adalah tidak berguna untuk praktek kita sendiri, berarti kita sudah jatuh pada kesalahan bahwa kita gagal memahami ajaran Buddha sebagai instruksi pribadi yang harus kita jalankan. Mengutip perkataan dari Dromtonpa, “Jika, setelah mempelajari begitu banyak Dharma, kamu merasa butuh mencari kumpulan lain dari ajaran untuk dipraktekkan, maka kamu telah melakukan semuanya salah”. Hal ini digambarkan juga seperti layaknya kuda pacuan, ketika sebelum perlombaan, adalah baik untuk seekor kuda pacuan untuk mempelajari lintasan yang akan diperlombakan. Namun, adalah hal yang amat bodoh, ketika kita melatih kuda pacuan di suatu lintasan, lalu melombakannya di lintasan yang berbeda. Dan kesalahan ini adalah hal-hal yang akan dihalau dengan mempelajari metode Lamrim, kita akan mempelajari dan menemukan bahwa setiap topik dari Lamrim itu adalah merupakan Instruksi, mengenai hal-hal apa saja yang seharusnya kita akumulasikan, dan hal hal apa yang seharusnya kita tanggalkan, hal-hal apa saja yang seharusnya setelah dipelajari, lalu direnungkan, dan kemudian dimeditasikan.
Keagungan ketiga dari Lamrim adalah, (3) Dapat dengan mudah memahami maksud dari Sang Penakluk. Ajaran Buddha, yang terdiri dari Sutra dan Tantra adalah sangat teramat luas. Dalam Tripitaka terjemahan Tibet saja ada 100 volume lebih, lalu dari volume tersebut meliputi berbagai macam topik-topik yang berbeda tingkat kesulitannya, namun dari apa yang kita pelajari, semua hal ini adalah merujuk pada tujuan utama yaitu membimbing murid menuju pencerahan. Adalah teramat sulit bagi kita untuk mempelajari keseluruhan Dharma Sang Buddha tersebut, bahkan untuk seorang murid yang amat cemerlang sekalipun, akan membutuhkan waktu yang lama, usaha yang besar, dan juga tantangan yang luar biasa besar untuk menguasainya.
Inilah yang menjadi tujuan dari metode Lamrim, untuk mempermudah diri kita untuk dapat secara cepat dan mudah untuk mengerti dari arti yang sebenarnya dari Tripitaka. Bagaimana ini mungkin? Guru Atisa telah mengelola seluruh ajaran Buddha yang sedemikian luasnya, menjadi suatu bentuk tahapan jalan untuk individu dalam tiga jenis praktisi. Beliau menjelaskan setiap tahapan jalan tersebut, kita sang murid dapat mempelajari penjelasannya, merenungkannya, dan kemudian merealisasikannya. Dengan cara ini, Tradisi Lamrim, dapat dikatakan mengumpulkan seluruh Ajaran Buddha, dan kemudian memeras intisari dari Ajaran Buddha tersebut dan menyusunnya menjadi sistem yang bertahap, mulai dari bagaimana kita seharusnya belajar Dharma, bertumpu kepada Guru, sampai ke pencapaian kebuddhaan.
Poin keempat dari Keagungan Ajaran Lamrim adalah, secara otomatis kita akan terhindar dari kesalahan besar (menolak Dharma). Kesalahan dari menolak Dharma adalah sangat berat, dan merupakan salah satu kesalahan yang paling berat. Apakah yang disebut menolak Dharma? Ini adalah keyakinan/kepercayaan bahwa beberapa Ajaran Buddha harus dipraktikkan, dan yang lainnya harus dijauhkan (tidak dipraktikkan). Tsongkhapa menjelaskan dalam Sarva-vaidalya-samgraha-sutra:
Manjushri, karma penghalang dari menolak Dharma yang suci adalah sangat halus. Manjushri, siapa pun yang menganggap satu bagian dari kata-kata yang diucapkan Tathagata adalah baik, dan bagian lain adalah buruk adalah menolak Dharma. Siapapun yang menolak Dharma, maka ia mencela Tathagata dan menjelekkan Sangha dengan melakukannya. Dengan mengatakan, “Ajaran ini sesuai, Ajaran itu tidak sesuai,” seseorang sudah menolak Dharma. Dengan mengatakan “Ini diajarkan untuk para Bodhisatva; yang itu diajarkan untuk Sravaka.”seseorang telah menolak Dharma. Dengan mengatakan, “Ini diajarkan untuk Pratyeka Buddha,” seseorang telah menolak Dharma. Dengan mengatakan, “Ini bukanlah latihan untuk Para Bodhisatva,” seseorang telah menolak Dharma.
Berdasarkan bait tersebut, jika kita menolak Dharma, maka secara tidak langsung kita telah menolak juga ketiga Ratna; Buddha, Dharma, dan Sangha. Di satu sisi, jika kita melihat pernyataan tersebut, benar adanya merupakan pembedaan tingkat latihan, namun di sisi lain itu adalah merupakan keberpihakan yang salah arah. Salah arah disini dikarenakan semua Ajaran yang berbeda tersebut seharusnya mendapatkan perhatian yang sama karena membimbing individu menuju pencerahan. Masalah berikutnya muncul ketika kita sudah salah arah, kita akan memiliki anggapan bahwa, yang ini lebih baik dari yang lain, keberpihakan kita memungkinkan kita jatuh kepada penolakan terhadap ajaran yang inferior.
Ketika seseorang memulai untuk belajar Dharma adalah sangat mudah untuk jatuh kepada pemikiran: “Ajaran ini superior, ajaran itu inferior. Yang ini lebih baik, yang itu lebih buruk. Yang ini Mahayana, aku seharusnya berpraktik Mahayana. Aku seharusnya berpraktik Hinayana.” Dengan mempelajari ini (metode Lamrim) ketika kita mengingat bahwa ini adalah suatu hal yang buruk, maka kita dapat menghindari untuk berpikir/berpendapat demikian. Seberapa besarkah karma buruk yang dihasilkan oleh menolak Dharma?
Sutra Raja Konsentrasi mengatakan, “Karma negatif dengan menghancurkan seluruh stupa di Jambudvipa tidak akan seberat karma negatif yang dihasilkan dari menolak Dharma. Dalam cara yang sama, bahkan karma dari membunuh Arahat yang sejumlah pasir di Sungai Gangga tidak akan seberat karma negatif dari menolak Dharma.” Karma negatif yang dihasilkan amat-teramat berat, terutama dikarenakan karma negatif dari menolak Dharma adalah semakin menjauhkan kita dari pencapaian kebuddhaan, dibandingkan kedua aksi karma buruk tersebut. Karma menghancurkan stupa atau membunuh Arahat suatu saat akan habis dan kita dapat berpraktik Dharma kembali. Namun dengan penolakan Dharma yang kuat, maka kita tidak akan pernah mencapai realisasi dari topik Dharma yang kita tolak (mengingat kita membutuhkan semua realisasi Dharma untuk mencapai kebuddhaan).
Lalu, bagaimana kah cara menghindarinya? Pertama-tama kita harus mengingat kedua Keagungan pertama dari metode Lamrim. Bahwa Keagungan karena tidak ada pertentangan di dalam semua Ajaran Sang Buddha, dan melihat semua Teks sebagai Instruksi pribadi. Ada terdapat analogi dari buku-buku Lamrim, mengenai hal ini yang dikaitkan dengan masakan. Ketika kita mempersiapkan suatu masakan yang lezat, maka kita membutuhkan bahan-bahan makanan tertentu: air, garam, bumbu-bumbu, beberapa jenis sayuran dan daging. Setiap bahan makanan tersebut berkontribusi terhadap rasa dan esensi dari makanan itu, kita tidak dapat meninggalkan bahkan satu jenis bahan makanan tersebut, atau rasanya akan berbeda! Dengan cara serupa, semua ajaran Buddha diperlukan untuk mencapai penerangan Sempurna, melalui praktik dari tradisi lamrim ini, kita akan mengerti keseluruhan teks dharma, apa artinya, tujuannya, dan bagaimana mereka melengkapi satu sama lain. Kita akan dapat melihat semua teks sebagai setara, jadi kita akan menghargainya, menghormatinya, dan memuliakannya sebagai metode untuk kita sendiri, untuk berlatih menuju pencerahan sempurna.
0 comments:
Post a Comment